Pendahuluan
Model dan seni perawatan luka sesungguhnya telah lama di kembangkan yaitu sejak jaman pra sejarah dengan pemanfaatan bahan alami yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya, yang akhirnya perkembangan perawatan luka menjadi modern seiring ditemukannya ribuan balutan untuk luka. Menurut Carville (1998) tidak ada satu jenis balutan yang cocok atau sesuai untuk setiap jenis luka. Pernyataan ini menjadikan kita harus dapat memi;ih balutan yang tepat untuk mendukung proses penyembuhan luka. Pemilihan balutan luka yang baik dan benar selalu berdasarkan pengkajian luka.
Model dan seni perawatan luka sesungguhnya telah lama di kembangkan yaitu sejak jaman pra sejarah dengan pemanfaatan bahan alami yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya, yang akhirnya perkembangan perawatan luka menjadi modern seiring ditemukannya ribuan balutan untuk luka. Menurut Carville (1998) tidak ada satu jenis balutan yang cocok atau sesuai untuk setiap jenis luka. Pernyataan ini menjadikan kita harus dapat memi;ih balutan yang tepat untuk mendukung proses penyembuhan luka. Pemilihan balutan luka yang baik dan benar selalu berdasarkan pengkajian luka.
Tujuan
Pengkajian
• Mendapatkan informasi yang relevan tentang pasien dan luka
• Memonitor proses penyembuhan luka
• Menentukan program perawatan luka pada pasien
• Mengevaluasi keberhasilan perawatan
• Mendapatkan informasi yang relevan tentang pasien dan luka
• Memonitor proses penyembuhan luka
• Menentukan program perawatan luka pada pasien
• Mengevaluasi keberhasilan perawatan
Pengkajian
Riwayat Pasien
Pengkajian luka harusnya dilakukan secara holistic yang bermakna bahwa pengkajian luka bukan hanya menentukan mengapa luka itu ada namun juga menemukan berbagai factor yang dapat menghambat penyembuhan luka. (Carvile K 1998). Faktor –faktor penghambat penyembuhan luka didapat dari pengkajian riwayat penyakit klien. Faktor yang perlu diidentifikasi antara lain :
1. Faktor Umum
• Usia
• Penyakit Penyerta
• Vaskularisasi
• Status Nutrisi
• Obesitas
• Gangguan Sensasi atau mobilisasi
• Status Psikologis
• Terapi Radiasi
• Obat-obatan
2. Faktor Lokal
• Kelembaban luka
• Penatalaksanaan manajemen luka
• Suhu Luka
• Tekanan, Gesekan dan Pergeseran
• Benda Asing
• Infeksi Luka
Pengkajian luka harusnya dilakukan secara holistic yang bermakna bahwa pengkajian luka bukan hanya menentukan mengapa luka itu ada namun juga menemukan berbagai factor yang dapat menghambat penyembuhan luka. (Carvile K 1998). Faktor –faktor penghambat penyembuhan luka didapat dari pengkajian riwayat penyakit klien. Faktor yang perlu diidentifikasi antara lain :
1. Faktor Umum
• Usia
• Penyakit Penyerta
• Vaskularisasi
• Status Nutrisi
• Obesitas
• Gangguan Sensasi atau mobilisasi
• Status Psikologis
• Terapi Radiasi
• Obat-obatan
2. Faktor Lokal
• Kelembaban luka
• Penatalaksanaan manajemen luka
• Suhu Luka
• Tekanan, Gesekan dan Pergeseran
• Benda Asing
• Infeksi Luka
Sedangkan
pada penatalaksanaan perawatan luka perawat harus mengevaluasi setiap pasien
dan lukanya melalui pengkajian terhadap :
• Penyebab luka (trauma, tekanan, diabetes dan insuffisiensi vena)
• Riwayat penatalaksanaan luka terakhir dan saat ini
• Usia pasien
• Durasi luka; akut ( 12 minggu)
• Kecukupan saturasi oksigen
• Identifikasi faktor-faktor sistemik yang mempengaruhi penyembuhan luka; obat-obatan (seperti prednison, tamoxifen, NSAID) dan data laboratorium ( kadar albumin, darah lengkap dengan diferensial, hitung jumlah limposit total)
• Penyakit akut dan kronis, kegagalan multi sistem: penyakit jantung, penyakit vaskuler perifer, anemia berat, diabetes, gagal ginjal, sepsis, dehidrasi, gangguan pernafasan yang membahayakan, malnutrisi atau cachexia
• Faktor-faktor lingkungan seperti distribusi tekanan, gesekan dan shear pada jaringan yang dapat menciptakan lingkungan yang meningkatkan kelangsungan hidup jaringan dan mempercepat penyembuhn luka. Observasi dimana pasien menghabiskan harinya; ditempat tidur,? Dikursi roda?. Apakah terjadi shearing selama memindahkan pasien dari tempat yang satu ketempat lainnya? Apakah sepatu pasien terlalu ketat,? Apakah pipa oksigen pasien diletakkan di atas telinga tanpa diberi alas?
• Penyebab luka (trauma, tekanan, diabetes dan insuffisiensi vena)
• Riwayat penatalaksanaan luka terakhir dan saat ini
• Usia pasien
• Durasi luka; akut ( 12 minggu)
• Kecukupan saturasi oksigen
• Identifikasi faktor-faktor sistemik yang mempengaruhi penyembuhan luka; obat-obatan (seperti prednison, tamoxifen, NSAID) dan data laboratorium ( kadar albumin, darah lengkap dengan diferensial, hitung jumlah limposit total)
• Penyakit akut dan kronis, kegagalan multi sistem: penyakit jantung, penyakit vaskuler perifer, anemia berat, diabetes, gagal ginjal, sepsis, dehidrasi, gangguan pernafasan yang membahayakan, malnutrisi atau cachexia
• Faktor-faktor lingkungan seperti distribusi tekanan, gesekan dan shear pada jaringan yang dapat menciptakan lingkungan yang meningkatkan kelangsungan hidup jaringan dan mempercepat penyembuhn luka. Observasi dimana pasien menghabiskan harinya; ditempat tidur,? Dikursi roda?. Apakah terjadi shearing selama memindahkan pasien dari tempat yang satu ketempat lainnya? Apakah sepatu pasien terlalu ketat,? Apakah pipa oksigen pasien diletakkan di atas telinga tanpa diberi alas?
Menurut
Carville (1998), Pengkajian luka meliputi :
1. Type luka
2. Type Penyembuhan
3. Kehilangan jaringan
4. Penampilan klinis
5. Lokasi
6. Ukuran Luka
7. Eksudasi
8. Kulit sekitar luka
9. Nyeri
10. Infeksi luka
11. Implikasi psikososial
1. Type luka
2. Type Penyembuhan
3. Kehilangan jaringan
4. Penampilan klinis
5. Lokasi
6. Ukuran Luka
7. Eksudasi
8. Kulit sekitar luka
9. Nyeri
10. Infeksi luka
11. Implikasi psikososial
1.
Jenis Luka
a. Luka akut yaitu berbagai jenis luka bedah yang sembuh melalui intensi primer atau luka traumatik atau luka bedah yang sembuh melalui intensi sekunder dan melalui proses perbaikan yang tepat pada waktu dan mencapai hasil pemulihan integritas anatomis sesuai dengan proses penyembuhan secara fisiologis.
b. Luka kronik, adalah terjadi bila proses perbaikan jaringan tidak sesuai dengan waktu yang telah diperkirakan dan penyembuhannya mengalami komplikasi, terhambat baik oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang berpengaruh kuat pada individu, luka atau lingkungan. Atau dapat dikatakan bahwa luka kronis merupakan kegagalan penyembuhan pada luka akut.
2. Type Penyembuhan
a. Primary Intention, Jika terdapat kehilangan jaringan minimal dan kedua tepi luka dirapatkan baik dengan suture (jahitan), clips atau tape (plester). Jaringan parut yang dihasilkan minimal.
b. Delayed Primary Intention, Jika luka terinfeksi atau mengandung benda asing dan membutuhkan pembersihan intensif, selanjutnya ditutup secara primer pada 3-5 hari kemudian.
c. Secondary Intention,. Penyembuhan luka terlambat dan terjadi melalui proses granulasi, kontraksi dan epithelization. Jaringan parut cukup luas.
d. Skin Graft, Skin graft tipis dan tebal digunakan untuk mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi resiko infeksi.
e. Flap, Pembedahan relokasi kulit dan jaringan subcutan pada luka yang berasal dari jaringan terdekat.
3. Kehilangan jaringan.
Kehilangan jaringan menggambarkan kedalaman kerusakan jaringan atau berkaitan dengan stadium kerusakan jaringan kulit.
a. Superfisial. Luka sebatas epidermis.
b. Parsial ( Partial thickness ). Luka meliputi epidermis dan dermis.
c. Penuh ( Full thickness ). Luka meliputi epidermis, dermis dan jaringan subcutan. Mungkin juga melibatkan otot, tendon dan tulang.
Atau dapat juga digambarkan melalui beberapa stadium luka (Stadium I – IV ).
a. Stage I : Lapisan epidermis utuh, namun terdapat erithema atau perubahan warna.
b. Stage II : Kehilangan kulit superfisial dengan kerusakan lapisan epidermis dan dermis. Erithema dijaringan sekitar yang nyeri, panas dan edema. Exudte sedikit sampai sedang mungkin ada.
c. Stage III : Kehilangan sampai dengan jaringan subcutan, dengan terbentuknya rongga (cavity), terdapat exudat sedang sampai banyak.
d. Stage IV : Hilangnya jaringan subcutan dengan terbentuknya (cavity), yang melibatkan otot, tendon dan/atau tulang. Terdapat exudate sedang sampai banyak.
a. Luka akut yaitu berbagai jenis luka bedah yang sembuh melalui intensi primer atau luka traumatik atau luka bedah yang sembuh melalui intensi sekunder dan melalui proses perbaikan yang tepat pada waktu dan mencapai hasil pemulihan integritas anatomis sesuai dengan proses penyembuhan secara fisiologis.
b. Luka kronik, adalah terjadi bila proses perbaikan jaringan tidak sesuai dengan waktu yang telah diperkirakan dan penyembuhannya mengalami komplikasi, terhambat baik oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang berpengaruh kuat pada individu, luka atau lingkungan. Atau dapat dikatakan bahwa luka kronis merupakan kegagalan penyembuhan pada luka akut.
2. Type Penyembuhan
a. Primary Intention, Jika terdapat kehilangan jaringan minimal dan kedua tepi luka dirapatkan baik dengan suture (jahitan), clips atau tape (plester). Jaringan parut yang dihasilkan minimal.
b. Delayed Primary Intention, Jika luka terinfeksi atau mengandung benda asing dan membutuhkan pembersihan intensif, selanjutnya ditutup secara primer pada 3-5 hari kemudian.
c. Secondary Intention,. Penyembuhan luka terlambat dan terjadi melalui proses granulasi, kontraksi dan epithelization. Jaringan parut cukup luas.
d. Skin Graft, Skin graft tipis dan tebal digunakan untuk mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi resiko infeksi.
e. Flap, Pembedahan relokasi kulit dan jaringan subcutan pada luka yang berasal dari jaringan terdekat.
3. Kehilangan jaringan.
Kehilangan jaringan menggambarkan kedalaman kerusakan jaringan atau berkaitan dengan stadium kerusakan jaringan kulit.
a. Superfisial. Luka sebatas epidermis.
b. Parsial ( Partial thickness ). Luka meliputi epidermis dan dermis.
c. Penuh ( Full thickness ). Luka meliputi epidermis, dermis dan jaringan subcutan. Mungkin juga melibatkan otot, tendon dan tulang.
Atau dapat juga digambarkan melalui beberapa stadium luka (Stadium I – IV ).
a. Stage I : Lapisan epidermis utuh, namun terdapat erithema atau perubahan warna.
b. Stage II : Kehilangan kulit superfisial dengan kerusakan lapisan epidermis dan dermis. Erithema dijaringan sekitar yang nyeri, panas dan edema. Exudte sedikit sampai sedang mungkin ada.
c. Stage III : Kehilangan sampai dengan jaringan subcutan, dengan terbentuknya rongga (cavity), terdapat exudat sedang sampai banyak.
d. Stage IV : Hilangnya jaringan subcutan dengan terbentuknya (cavity), yang melibatkan otot, tendon dan/atau tulang. Terdapat exudate sedang sampai banyak.
4. Penampilan
Klinik
Tampilan klinis luka dapat di bagi berdasarkan warna dasar luka antara lain :
a. Hitam atau Nekrotik yaitu eschar yang mengeras dan nekrotik, mungkin kering atau lembab.
b. Kuning atau Sloughy yaitu jaringan mati yang fibrous, kuning dan slough.
c. Merah atau Granulasi yaitu jaringan granulasi sehat.
d. Pink atau Epithellating yaitu terjadi epitelisasi.
e. Kehijauan atau terinfeksi yaitu terdapat tanda-tanda klinis infeksi seperti nyeri, panas, bengkak, kemerahan dan peningkatan exudate.
Tampilan klinis luka dapat di bagi berdasarkan warna dasar luka antara lain :
a. Hitam atau Nekrotik yaitu eschar yang mengeras dan nekrotik, mungkin kering atau lembab.
b. Kuning atau Sloughy yaitu jaringan mati yang fibrous, kuning dan slough.
c. Merah atau Granulasi yaitu jaringan granulasi sehat.
d. Pink atau Epithellating yaitu terjadi epitelisasi.
e. Kehijauan atau terinfeksi yaitu terdapat tanda-tanda klinis infeksi seperti nyeri, panas, bengkak, kemerahan dan peningkatan exudate.
5.
Lokasi
Lokasi atau posisi luka, dihubungkan dengan posisi anatomis tubuh dan mudah dikenali di dokumentasikan sebagai referensi utama. Lokasi luka mempengaruhi waktu penyembuhan luka dan jenis perawatan yang diberikan. Lokasi luka di area persendian cenderung bergerak dan tergesek, mungkin lebih lambat sembuh karena regenerasi dan migrasi sel terkena trauma (siku, lutut, kaki). Area yang rentan oleh tekanan atau gaya lipatan (shear force ) akan lambat sembuh (pinggul, bokong), sedangkan penyembuhan meningkat diarea dengan vaskularisasi baik (wajah).
Lokasi atau posisi luka, dihubungkan dengan posisi anatomis tubuh dan mudah dikenali di dokumentasikan sebagai referensi utama. Lokasi luka mempengaruhi waktu penyembuhan luka dan jenis perawatan yang diberikan. Lokasi luka di area persendian cenderung bergerak dan tergesek, mungkin lebih lambat sembuh karena regenerasi dan migrasi sel terkena trauma (siku, lutut, kaki). Area yang rentan oleh tekanan atau gaya lipatan (shear force ) akan lambat sembuh (pinggul, bokong), sedangkan penyembuhan meningkat diarea dengan vaskularisasi baik (wajah).
6.
Ukuran Luka
Dimensi ukuran meliputi ukuran panjang, lebar, kedalaman atau diameter ( lingkaran ). Pengkajian dan evaluasi kecepatan penyembuhan luka dan modalitas terapi adalah komponen penting dari perawatan luka.
Semua luka memerlukan pengkajian 2 dimensi pada luka terbuka dan pengkajian 3 dimensi pada luka berrongga atau berterowongan
a. Pengkajian dua dimensi.
Pengukuran superfisial dapat dilakukan dengan alat seperti penggaris untuk mengukur panjang dan lebar luka. Jiplakan lingkaran (tracing of circumference) luka direkomendasikan dalam bentuk plastik transparan atau asetat sheet dan memakai spidol.
b. Pengkajian tiga dimensi.
Pengkajian kedalaman berbagai sinus tract internal memerlukan pendekatan tiga dimensi. Metode paling mudah adalah menggunakan instrumen berupa aplikator kapas lembab steril atau kateter/baby feeding tube. Pegang aplikator dengan ibu jari dan telunjuk pada titik yang berhubungan dengan batas tepi luka. Hati-hati saat menarik aplikator sambil mempertahankan posisi ibu jari dan telunjuk yang memegangnya. Ukur dari ujung aplikator pada posisi sejajar dengan penggaris sentimeter (cm).
Melihat luka ibarat berhadapan dengan jam. Bagian atas luka (jam 12) adalah titik kearah kepala pasien, sedangkan bagian bawah luka (jam 6) adalah titik kearah kaki pasien. Panjang dapat diukur dari ” jam 12 – jam 6 ”. Lebar dapat diukur dari sisi ke sisi atau dari ” jam 3 – jam 9 ”.
Contoh Pengukuran
Dimensi ukuran meliputi ukuran panjang, lebar, kedalaman atau diameter ( lingkaran ). Pengkajian dan evaluasi kecepatan penyembuhan luka dan modalitas terapi adalah komponen penting dari perawatan luka.
Semua luka memerlukan pengkajian 2 dimensi pada luka terbuka dan pengkajian 3 dimensi pada luka berrongga atau berterowongan
a. Pengkajian dua dimensi.
Pengukuran superfisial dapat dilakukan dengan alat seperti penggaris untuk mengukur panjang dan lebar luka. Jiplakan lingkaran (tracing of circumference) luka direkomendasikan dalam bentuk plastik transparan atau asetat sheet dan memakai spidol.
b. Pengkajian tiga dimensi.
Pengkajian kedalaman berbagai sinus tract internal memerlukan pendekatan tiga dimensi. Metode paling mudah adalah menggunakan instrumen berupa aplikator kapas lembab steril atau kateter/baby feeding tube. Pegang aplikator dengan ibu jari dan telunjuk pada titik yang berhubungan dengan batas tepi luka. Hati-hati saat menarik aplikator sambil mempertahankan posisi ibu jari dan telunjuk yang memegangnya. Ukur dari ujung aplikator pada posisi sejajar dengan penggaris sentimeter (cm).
Melihat luka ibarat berhadapan dengan jam. Bagian atas luka (jam 12) adalah titik kearah kepala pasien, sedangkan bagian bawah luka (jam 6) adalah titik kearah kaki pasien. Panjang dapat diukur dari ” jam 12 – jam 6 ”. Lebar dapat diukur dari sisi ke sisi atau dari ” jam 3 – jam 9 ”.
Contoh Pengukuran
Pengukuran
tiga dimensi (ada rongga)
Luas luka 15 cm(P) x 12 cm(L) x 2 cm(T), dengan goa/undermining
Luas luka 15 cm(P) x 12 cm(L) x 2 cm(T), dengan goa/undermining
7.
Exudate.
Hal yang perlu dicatat tentang exudate adalah jenis, jumlah, warna, konsistensi dan bau.
a. Jenis Exudate
§ Serous – cairan berwarna jernih.
§ Hemoserous – cairan serous yang mewarna merah terang.
§ Sanguenous – cairan berwarna darah kental/pekat.
§ Purulent – kental mengandung nanah.
b. Jumlah, Kehilangan jumlah exudate luka berlebihan, seperti tampak pada luka bakar atau fistula dapat mengganggu keseimbangan cairan dan mengakibatkan gangguan elektrolit. Kulit sekitar luka juga cenderung maserasi jika tidak menggunkan balutan atau alat pengelolaan luka yang tepat.
c. Warna,Ini berhubungan dengan jenis exudate namun juga menjadi indikator klinik yang baik dari jenis bakteri yang ada pada luka terinfeksi (contoh, pseudomonas aeruginosa yang berwarna hijau/kebiruan).
d. Konsistensi, Ini berhubungan dengan jenis exudate, sangat bermakna pada luka yang edema dan fistula.
e. Bau, Ini berhubungan dengan infeksi luka dan kontaminasi luka oleh cairan tubuh seperti faeces terlihat pada fistula. Bau mungkin juga berhubungan dengan proses autolisis jaringan nekrotik pada balutan oklusif (hidrocolloid).
Hal yang perlu dicatat tentang exudate adalah jenis, jumlah, warna, konsistensi dan bau.
a. Jenis Exudate
§ Serous – cairan berwarna jernih.
§ Hemoserous – cairan serous yang mewarna merah terang.
§ Sanguenous – cairan berwarna darah kental/pekat.
§ Purulent – kental mengandung nanah.
b. Jumlah, Kehilangan jumlah exudate luka berlebihan, seperti tampak pada luka bakar atau fistula dapat mengganggu keseimbangan cairan dan mengakibatkan gangguan elektrolit. Kulit sekitar luka juga cenderung maserasi jika tidak menggunkan balutan atau alat pengelolaan luka yang tepat.
c. Warna,Ini berhubungan dengan jenis exudate namun juga menjadi indikator klinik yang baik dari jenis bakteri yang ada pada luka terinfeksi (contoh, pseudomonas aeruginosa yang berwarna hijau/kebiruan).
d. Konsistensi, Ini berhubungan dengan jenis exudate, sangat bermakna pada luka yang edema dan fistula.
e. Bau, Ini berhubungan dengan infeksi luka dan kontaminasi luka oleh cairan tubuh seperti faeces terlihat pada fistula. Bau mungkin juga berhubungan dengan proses autolisis jaringan nekrotik pada balutan oklusif (hidrocolloid).
8.
Kulit sekitar luka.
Inspeksi dan palpasi kulit sekitar luka akan menentukan apakah ada sellulitis, edema, benda asing, ekzema, dermatitis kontak atau maserasi. Vaskularisasi jaringan sekitar dikaji dan batas-batasnya dicatat. Catat warna, kehangatan dan waktu pengisian kapiler jika luka mendapatkan penekanan atau kompresi. Nadi dipalpasi terutama saat mengkaji luka di tungkai bawah. Penting untuk memeriksa tepi luka terhadap ada tidaknya epithelisasi dan/atau kontraksi.
Inspeksi dan palpasi kulit sekitar luka akan menentukan apakah ada sellulitis, edema, benda asing, ekzema, dermatitis kontak atau maserasi. Vaskularisasi jaringan sekitar dikaji dan batas-batasnya dicatat. Catat warna, kehangatan dan waktu pengisian kapiler jika luka mendapatkan penekanan atau kompresi. Nadi dipalpasi terutama saat mengkaji luka di tungkai bawah. Penting untuk memeriksa tepi luka terhadap ada tidaknya epithelisasi dan/atau kontraksi.
9.
Nyeri.
Penyebab nyeri pada luka, baik umum maupun lokal harus dipastikan. Apakah nyeri berhubungan dengan penyakit, pembedahan, trauma, infeksi atau benda asing. Atau apakah nyeri berkaitan dengan praktek perawatan luka atau prodak yang dipakai. Nyeri harus diteliti dan dikelola secara tepat.
Penyebab nyeri pada luka, baik umum maupun lokal harus dipastikan. Apakah nyeri berhubungan dengan penyakit, pembedahan, trauma, infeksi atau benda asing. Atau apakah nyeri berkaitan dengan praktek perawatan luka atau prodak yang dipakai. Nyeri harus diteliti dan dikelola secara tepat.
10.
Infeksi luka
Infeksi klinis dapat didefinisikan sebagai ”pertumbuhan organisme dalam luka yang berkaitan dengan reaksi jaringan”. (Westaby 1985). Reaksi jaringan tergantung pada daya tahan tubuh host terhadap invasi mikroorganisme. Derajat daya tahan tergantung pada faktor-faktor seperti status kesehatan umum, status nutrisi, pengobatan dan derajat kerusakan jaringan. Infeksi mempengaruhi penyembuhan luka dan mungkin menyebabkan dehiscence, eviserasi, perdarahan dan infeksi sistemik yang mengancam kehidupan. Secara reguler klien diobservasi terhadap adanya tanda dan gejala klinis infeksi sistemik atau infeksi luka.
Infeksi klinis dapat didefinisikan sebagai ”pertumbuhan organisme dalam luka yang berkaitan dengan reaksi jaringan”. (Westaby 1985). Reaksi jaringan tergantung pada daya tahan tubuh host terhadap invasi mikroorganisme. Derajat daya tahan tergantung pada faktor-faktor seperti status kesehatan umum, status nutrisi, pengobatan dan derajat kerusakan jaringan. Infeksi mempengaruhi penyembuhan luka dan mungkin menyebabkan dehiscence, eviserasi, perdarahan dan infeksi sistemik yang mengancam kehidupan. Secara reguler klien diobservasi terhadap adanya tanda dan gejala klinis infeksi sistemik atau infeksi luka.
Berdasarkan
kondisi infeksi, luka diklasifiksikan atas:
a. Bersih. Tidak ada tanda-tanda infeksi. Luka dibuat dalam kondisi pembedahan yang aseptik, tidak termasuk pembedahan pada sistem perkemihan, pernafasan atau pencernaan.
b. Bersih terkontaminasi. Luka pembedahan pada sistem perkemihan, pernafasan atau pencernaan. Luka terkontaminasi oleh flora normal jaringan yang bersangkutan namun tidak ada reaksi host.
c. Kontaminasi. Kontaminasi oleh bakteri diikuti reaksi host namun tidak terbentuk pus/nanah.
d. Infeksi. Terdapat tanda-tanda klinis infeksi dengan peningkatan kadar leukosit atau makrophage.
a. Bersih. Tidak ada tanda-tanda infeksi. Luka dibuat dalam kondisi pembedahan yang aseptik, tidak termasuk pembedahan pada sistem perkemihan, pernafasan atau pencernaan.
b. Bersih terkontaminasi. Luka pembedahan pada sistem perkemihan, pernafasan atau pencernaan. Luka terkontaminasi oleh flora normal jaringan yang bersangkutan namun tidak ada reaksi host.
c. Kontaminasi. Kontaminasi oleh bakteri diikuti reaksi host namun tidak terbentuk pus/nanah.
d. Infeksi. Terdapat tanda-tanda klinis infeksi dengan peningkatan kadar leukosit atau makrophage.
11.
Implikasi Psikososial.
Efek psikososial dapat berkembang luas dari pengalaman perlukaan dan hadirnya luka. Kebijaksanaan dan pertimbangan harus digunakan dalam pengkajian terhadap masalah potensial atau aktual yang berpengaruh kuat terhadap pasien dan perawatnya dalam kaitannya terhadap;
• Harga diri dan Citra diri.
• Perubahan fungsi tubuh.
• Pemulihan dan rehabilitasi.
• Issue kualitas hidup.
• Peran keluarga dan sosial.
• Status finansial.
Efek psikososial dapat berkembang luas dari pengalaman perlukaan dan hadirnya luka. Kebijaksanaan dan pertimbangan harus digunakan dalam pengkajian terhadap masalah potensial atau aktual yang berpengaruh kuat terhadap pasien dan perawatnya dalam kaitannya terhadap;
• Harga diri dan Citra diri.
• Perubahan fungsi tubuh.
• Pemulihan dan rehabilitasi.
• Issue kualitas hidup.
• Peran keluarga dan sosial.
• Status finansial.
Contoh
Pengkajian luka
Luka kronis di abdomen dengan ukuran 26 x 23 cm x 1 cm, dengan goa pkl 01 – 05 + 4 cm, warna dasar luka nekrotik (hitam) 40 %, Slough (kuning) 60 %, exudate sedang purulent … cc, bau (+), kulit sekitar luka kering, nyeri dg skala…., terkontaminasi kuman….. (setelah kultur)
Luka kronis di abdomen dengan ukuran 26 x 23 cm x 1 cm, dengan goa pkl 01 – 05 + 4 cm, warna dasar luka nekrotik (hitam) 40 %, Slough (kuning) 60 %, exudate sedang purulent … cc, bau (+), kulit sekitar luka kering, nyeri dg skala…., terkontaminasi kuman….. (setelah kultur)
Daftar
Pustaka
1. Bryant,R dan Nix,D. Acute & Chronic Wounds.Third Edition.St. Louis : Mosby.2007
2. Carvile K. Wound care manual. 3rd ed. St. Osborne Park: The Silver Chain Foundation ; 1998
3. Gitarja,W.Perawatan Luka Diabetes.Cetakan kedua.Bogor : Wocare Pubhlising.Juli 2008
4. http://www.conectique.com
5. http://www.burnsurgery.org/Betaweb/Modules/moisthealing/part_2bc.htm,
6. http://www.worldwidewounds.com/2004/september/Ryan/Psychology-Pain-Wound-Healing.html,
7. http://www.wounds1.com/care/procedure20.cfm/35
8. Suriadi. Manajemen luka. Pontianak: Stikep Muhammadiyah; 2007
9. Blackley,P.Practical Stoma Wound and Continence Management.Victoria : Reasearch Publications Pty Ltd ; 2004
1. Bryant,R dan Nix,D. Acute & Chronic Wounds.Third Edition.St. Louis : Mosby.2007
2. Carvile K. Wound care manual. 3rd ed. St. Osborne Park: The Silver Chain Foundation ; 1998
3. Gitarja,W.Perawatan Luka Diabetes.Cetakan kedua.Bogor : Wocare Pubhlising.Juli 2008
4. http://www.conectique.com
5. http://www.burnsurgery.org/Betaweb/Modules/moisthealing/part_2bc.htm,
6. http://www.worldwidewounds.com/2004/september/Ryan/Psychology-Pain-Wound-Healing.html,
7. http://www.wounds1.com/care/procedure20.cfm/35
8. Suriadi. Manajemen luka. Pontianak: Stikep Muhammadiyah; 2007
9. Blackley,P.Practical Stoma Wound and Continence Management.Victoria : Reasearch Publications Pty Ltd ; 2004
November 5,
2008
Pendahuluan
Perawatan
luka saat ini berkembang sangat pesat. Konsep-konsep baru bermunculan seiring
dengan ragam penelitian yang membahas faktor-faktor yang dapat mempercepat
penyembuhan luka. Sejak ditemukannya konsep “moisture” oleh George Winter pada
tahun 1962 productpun mengembangkan balutan dengan konsep lembab seperti
hidrokoloid, hidrogel, hidrocelulosa dan lain-lain yang disebut dengan modern
atau advanced dressing. Hal ini sangat membantu pasien-pasien luka dengan
memperpendek hari rawat atau mempercepat penyembuhan.
Menurut
Carvile K (1998) tujuan utama pemberian balutan pada luka adalah menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi penyembuhan. Tidak ada satu jenis dressing yang
cocok untuk semua luka atau semua orang. Sehingga
pemilihan dressing ditentukan berdasarkan pengkajian sesuai kebutuhan pasien
dan jenis lukanya. Penggunaan dressing untuk perawatan luka sudah mengarah pada
satu gerakan yang didasarkan pada pengukuran biaya untuk penggunaan dressing. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa tidak semua pasien dapat
menggunakan advandce dressing karena harga setiap product yang cukup tinggi.
Hal ini menuntut kita untuk dapat menentukan balutan yang paling tepat dan
sesuai bagi klien dan perlu diketahui apa permasalahan klien dalam penyembuhan
luka tersebut, termasuk masalah ekonomi.
Beberapa
tahun terakhir telah banyak penelitian dilakukan untuk mencari bahan alamiah
lain yang dapat digunakan sebagai alternative dressing luka antara lain
madu, papaya dan aloe vera. Bahan-bahan ini murah dan mudah didapatkan di
daerah atau dipelosok Indonesia. Namun pada kesempatan ini akan diuraikan salah
satu alternative dressing yaitu madu dan mengapa madu dapat menjadi
dressing yang menakjubkan.
Penanganan
luka infeksi dengan madu sudah digunakan sejak 2000 tahun sebelum bakteri
penyebab infeksi diketahui. Baru-baru ini, dilaporkan bahwa madu memiliki efek
inhibitor terhadap 60 jenis bakteri termasuk aerob dan anaerob, gram positif
dan gram negative, anti jamur; aspergillum dan penicilium termasuk bakteri yang
resisten terhadap antibiotik. Dari data diatas sayang
rasanya bila madu tidak dijadikan salah satu pilihan dressing luka.
Apakah madu itu?
Madu
adalah larutan gula dengan saturasi tinggi yang dihasilkan oleh lebah. Lebah
madu (Apis melifera) mengumpulkan cairan dari sari bunga yang disebut nectar
dan di bawa ke sarang lebah. Di dalam sarang, lebah madu menambahkan enzim ke
nectar dan menempatkannya dalam wadah hexagonal yang mematangkan menjadi madu.
Selama pematangan enzim merubah sucrose menjadi glukosa dan fruktosa. Madu mengandung glukosa 40%, air 20% dan asam amino.
Madu
tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah
mineral seperti magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi dan
fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, C, B6 dan B3 yang komposisinya
berubah-ubah sesuai dengan kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi
lebah. Di samping itu di dalam madu terdapat pula tembaga, yodium dan seng
dalam jumlah yang kecil, juga beberapa jenis hormon.
Mengapa Madu ?
Madu
yang mengandung berbagai macam zat yang dapat membantu penyembuhan luka
mempunyai : osmotic effect, hydrogen peroxide, phytocemical component,
lymphocyte & phagocytic activity dan anti microbial potency.
1. Osmotic effect
Madu
meliliki efek osmotic yaitu memiliki osmolaritas yang cukup untuk menghambat
pertumbuhan bakteri. Madu merupakan cairan yang mengandung glukosa dengan
saturasi yang tinggi yang mempunyai interaksi yang kuat terhadap molekul air.
Kekurangan kadar air dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Dari penelitian
telah dtemukan bahwa luka yang terinfeksi dengan staphylococcus aureus dan
diberi madu luka menjadi steril.
Kandungan
anti bacterial madu pertama kali dikenalkan oleh Van Ketel tahun 1982. The
antibacterial property of honey was first recognised in 1892 by Van Ketel. Hal
ini diasumsikan bahwa efek osmotic dihasilkan oleh kandungan gula yang tinggi
di dalam madu. Madu, seperti larutan gula lainnya; syrup, memiliki osmolaritas
yang cukup untuk menghambat bakteri. Madu juga telah menunjukkan pada luka yang
terinfeksi staphylococcus aureus dapat dengan cepat diubah menjadi steril .
Bukti
kandungan antibakteri pada madu meningkat bila diencerkan setelah di teliti dan
dilaporkan pada tahun 1919. Penjelasan ini berasal dari penelitian bahwa madu
mengandung enzim yang memproduksi hydrogen peroksida ketika diencerkan.
2. Hydrogen peroxide activity
Ketika
madu diencerkan oleh cairan eksudat luka, hydrogen peroksida di keluarkan
melalui rekasi enzim glucose oxidase. Cairan ini dikeluarkan secara perlahan
untuk menyediakan aktivitas antibacterial namun tidak merusak jaringan.
Seperti
yang kita ketahui bersama bahwa hydrogen peroxide mempunyai efek kurang baik
untuk jaringan, akan tetapi hydrogen peroxide yang terkandung dalam madu adalah
berkisar 1 mmol/l atau 1000 kali lebih rendah dari 3% cairan yang umum dipakai
sebagai antiseptic dan masih efektif sebagai antibacterial dan tidak merusak
sel fibroblast. Efek dari hydrogen peroxide yang bersifat merusak dapat
dikurangi karena madu mempunyai anti oksidan yang dapat membersihkan radikal
oksigen bebas. Selain itu madu juga menonaktifkan zat besi sebagai katalisator
Penelitian
pada binatang didapatkan bahwa madu dapat menurunkan inflamasi dibandingkan
jenis lain pada luka bakar dalam dan luka bakar superfial dan luka derajat full
thickness.
Meskipun
kadar hydrogen peroksida sangat rendah namum masih efektif sebagai antimikroba.
Hal ini telah dilaporkan bahwa hydrogen peroksida lebih efektif bila diberikan
secara terus menerus. Sebuah penelitian pada E. Coli untuk mengetahui aliran
hydrogen peroksida yang ditambahkan secara constan, menunjukkan bahwa
pertumbuhan bakteri dapat dihambat oleh 0,02 – 0,05 mmol/l hydrogen peroksida,
concentrasi tersebut tidak merusak sel fibroblast pada kulit manusia.
3. Phytochemical component
Pada
beberapa pengobatan madu dengan katalis untuk mengeluarkan aktivitas hydrogen
peroksida, selain itu factor antibacterial nonperoksida juga diidentifikasi.
Manuka (Leptospermum scoparium) honey juga telah ditemukan substansi dari
aktivias antibacterial non perioksida. Penemuan ini terjadi karena masih
banyaknya komponen phytocemical yang tidak teridentifikasi, sehingga
penyelidikan terhadap kandungan phytocemical madu akan tetap dilanjutkan.
Penelitian
yang serupa telah ditemukan madu yang mengandung spesies leptospermum yang
tidak teridentifikasi di Australia, ‘jellybush’ [C. Davis, Queensland
Department of Primary Industries: personal communication].
4. Increased lymphocyte and
phagocytic activity
Dalam
kultur sel ditemukan adanya proliferasi limposit B dan limposit T pada darah
perifer yang distimulasi oleh madu dengan konsentrasi 0,1%; pagosit diaktifkan
oleh madu pada konsentrasi 0,1%. Pada konsentrasi 1 % madu juga menstimulasi
monocyte dalam kultur sel untuk mengeluarkan cytokine, tumor necrosis factor
(TNF)-alpha, interleukin(IL)-1 dan IL-6, dimana mengaktifkan aktifitas respon
imun terhadap infeksi.
Sebagai
tambahan, madu juga mengandung glukosa dan PH asam (antara PH 3 dan PH 4) yang
dapat membantu membunuh bakteri oleh macrophage, madu sebagai terapi untuk luka
mempunyai beberapa segi kebaikan ; memudahkan pengangkatan balutan ;
mempertahankan kelembaban sekitar luka.
5. Anti-bacterial potency
Madu
dihasilkan dari berbagai sumber sari bunga berbeda dan menjadi antimikroba yang
asli dan olahan. Dioscorides (c.50 AD) menyatakan bahwa madu kuning pucat dari
Africa yang terbaik; Aristotle (384-322 BC), ketika mendiskusikan perbedaan
madu, menunjukkan bawha madu yang berwarna pucat baik untuk salep mata dan
luka.
Kemudian
sebuah survey terhadap 345 samples madu New Zealand dari 26 sumber bunga yang
berbeda ditemukan jumlah yang besar dengan aktivitas rendah (36 % sampel
mempunyai aktivitas mendekati atau dibawah kadar). Selain itu hasil survey yang
tidak dipublikasikan, 340 sampel madu Australia dari 78 sumber bunga yang
berbeda ditemukan 68,5% memiliki dibawah kadar yang dibutuhkan.
Pada
percobaan acak ditemukan pada luka eksisi dan skin graft menjadi baik dengan
madu pada pengontrolan infeksi pada pasien luka bakar sedang.
Uji
Klinis dan Laboratorium
Molan
dalam artikelnya berjudul Honey as a tropical antibacterial agent for treatment
of infected wounds dalam World Wide Wounds, 2001 menguraikan beberapa uji
klinis tentang madu antara lain :
Pada
suatu studi yang menggunakan madu pada Sembilan bayi dengan luka bedah infeksi
yang luas yang gagal dengan antibiotic IV, dicuci dengan cairan 0,05%
chlorhrxidine dan di balut dengan asam fusidic ointment. Secara klinis
memperlihatkan peningkatan setelah 5 hari menggunakan madu, dan seluruh luka
tertutup, bersih dan bebas dari infeksi setelah hari ke 21 penggunaan madu.
Pada
percobaan acak dengan kelompok kontraol, 26 pasien dengan luka infeksi post
operasi diterapi dengan madu dan 24 pasien lukanya di cuci dengan 70% etanol
dan povidone iodine. Kelompok yang diterapi dengan madu dapat menghilangkan
infeksi dan mencapai penyembuhan lebih cepat ½ kali di banding kelompok yang
menggunakan antiseptic.
Percobaan
kllinis yang membandingkan madu dengan silver sulfadiazine ointment pada luka
bakar derajat II. Dari keduanya menunjukkan bahwa madu memberikan control
infeksi yang lebih baik.
Luka
infeksi oleh Pseudomonas, tidak ada respon dengan terapi lain, terjadi
pembersihan infeksi cepat dengan menggunakan madu.
Pada
pasien dengan luka infeksi yang bakteri yang resistant, tidak ada respon terapi
antibiotic, hasil baik dicapai setelah 5 minggu perawatan dengan madu. Bakteri
yang mengenfeksi luka yang ditemukan resisten terhadap ampicilin,
oxytetracycline, gentamicin, chloramphenicol dan cephadine. Luka yang
terinfeksi MRSA juga dapat diatasi infeksinya dan sembuh menggunakan balutan
madu termasuk leg ulcer, luka berongga akibat haenatom dan luka operasi.
Kondisi
luka bagaimana madu digunakan?
Madu
biasanya digunakan sebagai topical antibacteri untuk penanganan infeksi pada
tipe luka yang luas seperti : Leg Ulcers, Pressure ulcers, Diabetic foot
ulcers, Luka infeksi akibat kecelakaan atau pembedahan dan luka bakar. Madu lebih efektif digunakan bila kondisi luka yang
sesuai dengan kemampuan madu itu sendiri. Pada leg ulcer akan efektif digunakan
bila sudah terjadi luka kronis, atau dengan eksudat yang banyak khususnya
venous ulcer. Untuk pressure ulcers, madu efektif bila luka dalam kondisi
eksudat banyak, slough namun kurang efektif untuk luka nekrotik, demikian pula
untuk luka diabetic. Luka infeksi akibat pembedahan atau kecelakaan sangat baik
diberi madu karena madu mempunyai efek osmolaritas, antimicrobial dan
pythocemical yang dapat menginhibisi kuman. Sedangkan luka bakar yang dapat
didukung proses penyembuhannya oleh madu adalah luka bakar suferficial dan full
thickness karena dapat menurunkan proses inflamasi.
Bagaimana
Cara Penggunaan madu pada luka?
Tips umum
penggunaan madu pada luka antara lain :
1. Jumlah madu yang digunakan
tergantung dengan jumlah cairan exudates luka. Eksudat yang banyak memerlukan
jumlah substansi madu untuk dipakai.
2. Frekuensi penggantian balutan
tergantung seberapa cepat madu diencerkan oleh eksudate. Sebaiknya tidak sering
diganti untuk memungkinkan madu memulai bekerja dalam proses penyembuhan luka.
3. Balutan tertutup membantu untuk
mencegah keluarnya ozon madu keluar dari luka
4. Sebaiknya madu di ratakan pada
balutan (impregnated) lalu ditempelkan pada luka daripada madu ditempelkan
langsung ke luka.
5. Untuk luka dengan eksudate yang
banyak, secondary dressing dibutuhkan untuk menampung rembesan madu yang encer
dari primary dressing.
6. Madu aman dimasukkan kedalam luka
yang berongga dan bersinus, karena madu merupakan cairan yang dapat larut dan
mudah dibilas keluar; beberapa endapannya tidak menjadi benda asing bagi tubuh
(bio degradable)
7. Madu dapat di impregnated dengan
alginate.
8. Balutan madu yang digunakan
melebihi pinggir luka
Kesimpulan
Pemilihan
balutan sebaiknya menggunakan berbagai pertimbangan sebelumnya. Perawat harus
mampu mengetahui balutan apa yang cocot bagi pasien dan persoalam apa yang
dihadapi pasien (termasuk masalah ekonomi). Penggunaan madu dapat dijadikan
pillihan, selain madu lebih murah, juga mempunyai efek yang baik bagi luka
karena dapat memfasilitasi luka sehingga lingkungan di sekitar luka menjadi
kondusif bagi penyembuhan luka. Kandungan madu yang dapat menjaga lingkungan
kondusif bagi luka antara lain high osmolarity, dapat mengeluarkan hydrogen
peroxide, anti bakteri, komponen phytocemical, dan dapat meningkatkan limposit
T, limposit B serta meningkatkan kerja pagosit.
Madu
dapat di aplikasikan pada banyak jenis luka, namun perlu dipertimbangkan fungsi
madu dan bagaimana efek kerjanya pada luka. Misalnya luka derajat I tidak akan
efektif oleh madu, madu juga tidak memiliki efek langsung terhadap luka
necrotic.
Madu
mengandung banyak manfaat bagi penyembuhan luka, namun tidak semua jenis madu
dapat memiliki kandungan yang sama tergantung jenis dan sumber makanan yang
dimakannya. Dan menurut penelitian madu yang berwarna kuning pucat yang
terbaik.
Referensi
1. Carvile K. Wound care manual. 3rd
ed. St. Osborne Park: The Silver Chain Foundation ; 1998
2. Molan PC. Honey as a tropical
antibacterial agent for treatment of infected wounds. World Wide Wounds. 2001
3. Molan PC. The antibacterial
activity of honey. 1.The nature of the antibacterial activity. Bee World
1992; 73(1): 5-28.
4. Ngan V. Honey.Waikato Honey
Research Unit
5. Suriadi. Manajemen luka.
Pontianak: Stikep Muhammadiyah; 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar