Senin, 04 Juni 2012

PENGKAJIAN LUKA




Pendahuluan
Model dan seni perawatan luka sesungguhnya telah lama di kembangkan yaitu sejak jaman pra sejarah dengan pemanfaatan bahan alami yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya, yang akhirnya perkembangan perawatan luka menjadi modern seiring ditemukannya ribuan balutan untuk luka. Menurut Carville (1998) tidak ada satu jenis balutan yang cocok atau sesuai untuk setiap jenis luka. Pernyataan ini menjadikan kita harus dapat memi;ih balutan yang tepat untuk mendukung proses penyembuhan luka. Pemilihan balutan luka yang baik dan benar selalu berdasarkan pengkajian luka.

Tujuan Pengkajian
• Mendapatkan informasi yang relevan tentang pasien dan luka
• Memonitor proses penyembuhan luka
• Menentukan program perawatan luka pada pasien
• Mengevaluasi keberhasilan perawatan

Pengkajian Riwayat Pasien
Pengkajian luka harusnya dilakukan secara holistic yang bermakna bahwa pengkajian luka bukan hanya menentukan mengapa luka itu ada namun juga menemukan berbagai factor yang dapat menghambat penyembuhan luka. (Carvile K 1998). Faktor –faktor penghambat penyembuhan luka didapat dari pengkajian riwayat penyakit klien. Faktor yang perlu diidentifikasi antara lain :
1. Faktor Umum
• Usia
• Penyakit Penyerta
• Vaskularisasi
• Status Nutrisi
• Obesitas
• Gangguan Sensasi atau mobilisasi
• Status Psikologis
• Terapi Radiasi
• Obat-obatan
2. Faktor Lokal
• Kelembaban luka
• Penatalaksanaan manajemen luka
• Suhu Luka
• Tekanan, Gesekan dan Pergeseran
• Benda Asing
• Infeksi Luka

Sedangkan pada penatalaksanaan perawatan luka perawat harus mengevaluasi setiap pasien dan lukanya melalui pengkajian terhadap :
• Penyebab luka (trauma, tekanan, diabetes dan insuffisiensi vena)
• Riwayat penatalaksanaan luka terakhir dan saat ini
• Usia pasien
• Durasi luka; akut ( 12 minggu)
• Kecukupan saturasi oksigen
• Identifikasi faktor-faktor sistemik yang mempengaruhi penyembuhan luka; obat-obatan (seperti prednison, tamoxifen, NSAID) dan data laboratorium ( kadar albumin, darah lengkap dengan diferensial, hitung jumlah limposit total)
• Penyakit akut dan kronis, kegagalan multi sistem: penyakit jantung, penyakit vaskuler perifer, anemia berat, diabetes, gagal ginjal, sepsis, dehidrasi, gangguan pernafasan yang membahayakan, malnutrisi atau cachexia
• Faktor-faktor lingkungan seperti distribusi tekanan, gesekan dan shear pada jaringan yang dapat menciptakan lingkungan yang meningkatkan kelangsungan hidup jaringan dan mempercepat penyembuhn luka. Observasi dimana pasien menghabiskan harinya; ditempat tidur,? Dikursi roda?. Apakah terjadi shearing selama memindahkan pasien dari tempat yang satu ketempat lainnya? Apakah sepatu pasien terlalu ketat,? Apakah pipa oksigen pasien diletakkan di atas telinga tanpa diberi alas?

Menurut Carville (1998), Pengkajian luka meliputi :
1. Type luka
2. Type Penyembuhan
3. Kehilangan jaringan
4. Penampilan klinis
5. Lokasi
6. Ukuran Luka
7. Eksudasi
8. Kulit sekitar luka
9. Nyeri
10. Infeksi luka
11. Implikasi psikososial

1. Jenis Luka
a. Luka akut yaitu berbagai jenis luka bedah yang sembuh melalui intensi primer atau luka traumatik atau luka bedah yang sembuh melalui intensi sekunder dan melalui proses perbaikan yang tepat pada waktu dan mencapai hasil pemulihan integritas anatomis sesuai dengan proses penyembuhan secara fisiologis.
b. Luka kronik, adalah terjadi bila proses perbaikan jaringan tidak sesuai dengan waktu yang telah diperkirakan dan penyembuhannya mengalami komplikasi, terhambat baik oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang berpengaruh kuat pada individu, luka atau lingkungan. Atau dapat dikatakan bahwa luka kronis merupakan kegagalan penyembuhan pada luka akut.

2. Type Penyembuhan

a. Primary Intention, Jika terdapat kehilangan jaringan minimal dan kedua tepi luka dirapatkan baik dengan suture (jahitan), clips atau tape (plester). Jaringan parut yang dihasilkan minimal.
b. Delayed Primary Intention, Jika luka terinfeksi atau mengandung benda asing dan membutuhkan pembersihan intensif, selanjutnya ditutup secara primer pada 3-5 hari kemudian.
c. Secondary Intention,. Penyembuhan luka terlambat dan terjadi melalui proses granulasi, kontraksi dan epithelization. Jaringan parut cukup luas.
d. Skin Graft, Skin graft tipis dan tebal digunakan untuk mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi resiko infeksi.
e. Flap, Pembedahan relokasi kulit dan jaringan subcutan pada luka yang berasal dari jaringan terdekat.
3. Kehilangan jaringan.
Kehilangan jaringan menggambarkan kedalaman kerusakan jaringan atau berkaitan dengan stadium kerusakan jaringan kulit.
a. Superfisial. Luka sebatas epidermis.
b. Parsial ( Partial thickness ). Luka meliputi epidermis dan dermis.
c. Penuh ( Full thickness ). Luka meliputi epidermis, dermis dan jaringan subcutan. Mungkin juga melibatkan otot, tendon dan tulang.
Atau dapat juga digambarkan melalui beberapa stadium luka (Stadium I – IV ).
a. Stage I : Lapisan epidermis utuh, namun terdapat erithema atau perubahan warna.
b. Stage II : Kehilangan kulit superfisial dengan kerusakan lapisan epidermis dan dermis. Erithema dijaringan sekitar yang nyeri, panas dan edema. Exudte sedikit sampai sedang mungkin ada.
c. Stage III : Kehilangan sampai dengan jaringan subcutan, dengan terbentuknya rongga (cavity), terdapat exudat sedang sampai banyak.
d. Stage IV : Hilangnya jaringan subcutan dengan terbentuknya (cavity), yang melibatkan otot, tendon dan/atau tulang. Terdapat exudate sedang sampai banyak.

4. Penampilan Klinik
Tampilan klinis luka dapat di bagi berdasarkan warna dasar luka antara lain :
a. Hitam atau Nekrotik yaitu eschar yang mengeras dan nekrotik, mungkin kering atau lembab.
b. Kuning atau Sloughy yaitu jaringan mati yang fibrous, kuning dan slough.
c. Merah atau Granulasi yaitu jaringan granulasi sehat.
d. Pink atau Epithellating yaitu terjadi epitelisasi.
e. Kehijauan atau terinfeksi yaitu terdapat tanda-tanda klinis infeksi seperti nyeri, panas, bengkak, kemerahan dan peningkatan exudate.

5. Lokasi
Lokasi atau posisi luka, dihubungkan dengan posisi anatomis tubuh dan mudah dikenali di dokumentasikan sebagai referensi utama. Lokasi luka mempengaruhi waktu penyembuhan luka dan jenis perawatan yang diberikan. Lokasi luka di area persendian cenderung bergerak dan tergesek, mungkin lebih lambat sembuh karena regenerasi dan migrasi sel terkena trauma (siku, lutut, kaki). Area yang rentan oleh tekanan atau gaya lipatan (shear force ) akan lambat sembuh (pinggul, bokong), sedangkan penyembuhan meningkat diarea dengan vaskularisasi baik (wajah).

6. Ukuran Luka
Dimensi ukuran meliputi ukuran panjang, lebar, kedalaman atau diameter ( lingkaran ). Pengkajian dan evaluasi kecepatan penyembuhan luka dan modalitas terapi adalah komponen penting dari perawatan luka.
Semua luka memerlukan pengkajian 2 dimensi pada luka terbuka dan pengkajian 3 dimensi pada luka berrongga atau berterowongan
a. Pengkajian dua dimensi.
Pengukuran superfisial dapat dilakukan dengan alat seperti penggaris untuk mengukur panjang dan lebar luka. Jiplakan lingkaran (tracing of circumference) luka direkomendasikan dalam bentuk plastik transparan atau asetat sheet dan memakai spidol.
b. Pengkajian tiga dimensi.
Pengkajian kedalaman berbagai sinus tract internal memerlukan pendekatan tiga dimensi. Metode paling mudah adalah menggunakan instrumen berupa aplikator kapas lembab steril atau kateter/baby feeding tube. Pegang aplikator dengan ibu jari dan telunjuk pada titik yang berhubungan dengan batas tepi luka. Hati-hati saat menarik aplikator sambil mempertahankan posisi ibu jari dan telunjuk yang memegangnya. Ukur dari ujung aplikator pada posisi sejajar dengan penggaris sentimeter (cm).
Melihat luka ibarat berhadapan dengan jam. Bagian atas luka (jam 12) adalah titik kearah kepala pasien, sedangkan bagian bawah luka (jam 6) adalah titik kearah kaki pasien. Panjang dapat diukur dari ” jam 12 – jam 6 ”. Lebar dapat diukur dari sisi ke sisi atau dari ” jam 3 – jam 9 ”.
Contoh Pengukuran

gbr. pengukuran luka 3 D

Pengukuran tiga dimensi (ada rongga)
Luas luka 15 cm(P) x 12 cm(L) x 2 cm(T), dengan goa/undermining

7. Exudate.
Hal yang perlu dicatat tentang exudate adalah jenis, jumlah, warna, konsistensi dan bau.
a. Jenis Exudate
§ Serous – cairan berwarna jernih.
§ Hemoserous – cairan serous yang mewarna merah terang.
§ Sanguenous – cairan berwarna darah kental/pekat.
§ Purulent – kental mengandung nanah.
b. Jumlah, Kehilangan jumlah exudate luka berlebihan, seperti tampak pada luka bakar atau fistula dapat mengganggu keseimbangan cairan dan mengakibatkan gangguan elektrolit. Kulit sekitar luka juga cenderung maserasi jika tidak menggunkan balutan atau alat pengelolaan luka yang tepat.
c. Warna,Ini berhubungan dengan jenis exudate namun juga menjadi indikator klinik yang baik dari jenis bakteri yang ada pada luka terinfeksi (contoh, pseudomonas aeruginosa yang berwarna hijau/kebiruan).
d. Konsistensi, Ini berhubungan dengan jenis exudate, sangat bermakna pada luka yang edema dan fistula.
e. Bau, Ini berhubungan dengan infeksi luka dan kontaminasi luka oleh cairan tubuh seperti faeces terlihat pada fistula. Bau mungkin juga berhubungan dengan proses autolisis jaringan nekrotik pada balutan oklusif (hidrocolloid).

8. Kulit sekitar luka.
Inspeksi dan palpasi kulit sekitar luka akan menentukan apakah ada sellulitis, edema, benda asing, ekzema, dermatitis kontak atau maserasi. Vaskularisasi jaringan sekitar dikaji dan batas-batasnya dicatat. Catat warna, kehangatan dan waktu pengisian kapiler jika luka mendapatkan penekanan atau kompresi. Nadi dipalpasi terutama saat mengkaji luka di tungkai bawah. Penting untuk memeriksa tepi luka terhadap ada tidaknya epithelisasi dan/atau kontraksi.

9. Nyeri.
Penyebab nyeri pada luka, baik umum maupun lokal harus dipastikan. Apakah nyeri berhubungan dengan penyakit, pembedahan, trauma, infeksi atau benda asing. Atau apakah nyeri berkaitan dengan praktek perawatan luka atau prodak yang dipakai. Nyeri harus diteliti dan dikelola secara tepat.

10. Infeksi luka
Infeksi klinis dapat didefinisikan sebagai ”pertumbuhan organisme dalam luka yang berkaitan dengan reaksi jaringan”. (Westaby 1985). Reaksi jaringan tergantung pada daya tahan tubuh host terhadap invasi mikroorganisme. Derajat daya tahan tergantung pada faktor-faktor seperti status kesehatan umum, status nutrisi, pengobatan dan derajat kerusakan jaringan. Infeksi mempengaruhi penyembuhan luka dan mungkin menyebabkan dehiscence, eviserasi, perdarahan dan infeksi sistemik yang mengancam kehidupan. Secara reguler klien diobservasi terhadap adanya tanda dan gejala klinis infeksi sistemik atau infeksi luka.

Berdasarkan kondisi infeksi, luka diklasifiksikan atas:
a. Bersih. Tidak ada tanda-tanda infeksi. Luka dibuat dalam kondisi pembedahan yang aseptik, tidak termasuk pembedahan pada sistem perkemihan, pernafasan atau pencernaan.
b. Bersih terkontaminasi. Luka pembedahan pada sistem perkemihan, pernafasan atau pencernaan. Luka terkontaminasi oleh flora normal jaringan yang bersangkutan namun tidak ada reaksi host.
c. Kontaminasi. Kontaminasi oleh bakteri diikuti reaksi host namun tidak terbentuk pus/nanah.
d. Infeksi. Terdapat tanda-tanda klinis infeksi dengan peningkatan kadar leukosit atau makrophage.

11. Implikasi Psikososial.
Efek psikososial dapat berkembang luas dari pengalaman perlukaan dan hadirnya luka. Kebijaksanaan dan pertimbangan harus digunakan dalam pengkajian terhadap masalah potensial atau aktual yang berpengaruh kuat terhadap pasien dan perawatnya dalam kaitannya terhadap;
• Harga diri dan Citra diri.
• Perubahan fungsi tubuh.
• Pemulihan dan rehabilitasi.
• Issue kualitas hidup.
• Peran keluarga dan sosial.
• Status finansial.

Contoh Pengkajian luka
cth luka utk di kaji
Luka kronis di abdomen dengan ukuran 26 x 23 cm x 1 cm, dengan goa pkl 01 – 05 + 4 cm, warna dasar luka nekrotik (hitam) 40 %, Slough (kuning) 60 %, exudate sedang purulent … cc, bau (+), kulit sekitar luka kering, nyeri dg skala…., terkontaminasi kuman….. (setelah kultur)

Daftar Pustaka
1. Bryant,R dan Nix,D. Acute & Chronic Wounds.Third Edition.St. Louis : Mosby.2007
2. Carvile K. Wound care manual. 3rd ed. St. Osborne Park: The Silver Chain Foundation ; 1998
3. Gitarja,W.Perawatan Luka Diabetes.Cetakan kedua.Bogor : Wocare Pubhlising.Juli 2008
4. http://www.conectique.com
5. http://www.burnsurgery.org/Betaweb/Modules/moisthealing/part_2bc.htm,
6. http://www.worldwidewounds.com/2004/september/Ryan/Psychology-Pain-Wound-Healing.html,
7. http://www.wounds1.com/care/procedure20.cfm/35
8. Suriadi. Manajemen luka. Pontianak: Stikep Muhammadiyah; 2007
9. Blackley,P.Practical Stoma Wound and Continence Management.Victoria : Reasearch Publications Pty Ltd ; 2004


November 5, 2008

gmbr prwt madu

Pendahuluan

Perawatan luka saat ini berkembang sangat pesat. Konsep-konsep baru bermunculan seiring dengan ragam penelitian yang membahas faktor-faktor yang dapat mempercepat penyembuhan luka. Sejak ditemukannya konsep “moisture” oleh George Winter pada tahun 1962 productpun mengembangkan balutan dengan konsep lembab seperti hidrokoloid, hidrogel, hidrocelulosa dan lain-lain yang disebut dengan modern atau advanced dressing. Hal ini sangat membantu pasien-pasien luka dengan memperpendek hari rawat atau mempercepat penyembuhan.

Menurut Carvile K (1998) tujuan utama pemberian balutan pada luka adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyembuhan. Tidak ada satu jenis dressing yang cocok untuk semua luka atau semua orang. Sehingga pemilihan dressing ditentukan berdasarkan pengkajian sesuai kebutuhan pasien dan jenis lukanya. Penggunaan dressing untuk perawatan luka sudah mengarah pada satu gerakan yang didasarkan pada pengukuran biaya untuk penggunaan dressing. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa tidak semua pasien dapat menggunakan advandce dressing karena harga setiap product yang cukup tinggi. Hal ini menuntut kita untuk dapat menentukan balutan yang paling tepat dan sesuai bagi klien dan perlu diketahui apa permasalahan klien dalam penyembuhan luka tersebut, termasuk masalah ekonomi.

Beberapa tahun terakhir telah banyak penelitian dilakukan untuk mencari bahan alamiah lain yang dapat digunakan sebagai alternative dressing luka antara lain madu, papaya dan aloe vera. Bahan-bahan ini murah dan mudah didapatkan di daerah atau dipelosok Indonesia. Namun pada kesempatan ini akan diuraikan salah satu alternative dressing yaitu madu dan mengapa madu dapat menjadi dressing yang menakjubkan.

Penanganan luka infeksi dengan madu sudah digunakan sejak 2000 tahun sebelum bakteri penyebab infeksi diketahui. Baru-baru ini, dilaporkan bahwa madu memiliki efek inhibitor terhadap 60 jenis bakteri termasuk aerob dan anaerob, gram positif dan gram negative, anti jamur; aspergillum dan penicilium termasuk bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Dari data diatas sayang rasanya bila madu tidak dijadikan salah satu pilihan dressing luka.

Apakah madu itu?

Madu adalah larutan gula dengan saturasi tinggi yang dihasilkan oleh lebah. Lebah madu (Apis melifera) mengumpulkan cairan dari sari bunga yang disebut nectar dan di bawa ke sarang lebah. Di dalam sarang, lebah madu menambahkan enzim ke nectar dan menempatkannya dalam wadah hexagonal yang mematangkan menjadi madu. Selama pematangan enzim merubah sucrose menjadi glukosa dan fruktosa. Madu mengandung glukosa 40%, air 20% dan asam amino.

Madu tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah mineral seperti magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi dan fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, C, B6 dan B3 yang komposisinya berubah-ubah sesuai dengan kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi lebah. Di samping itu di dalam madu terdapat pula tembaga, yodium dan seng dalam jumlah yang kecil, juga beberapa jenis hormon.

Mengapa Madu ?

Madu yang mengandung berbagai macam zat yang dapat membantu penyembuhan luka mempunyai : osmotic effect, hydrogen peroxide, phytocemical component, lymphocyte & phagocytic activity dan anti microbial potency.

1. Osmotic effect

Madu meliliki efek osmotic yaitu memiliki osmolaritas yang cukup untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Madu merupakan cairan yang mengandung glukosa dengan saturasi yang tinggi yang mempunyai interaksi yang kuat terhadap molekul air. Kekurangan kadar air dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Dari penelitian telah dtemukan bahwa luka yang terinfeksi dengan staphylococcus aureus dan diberi madu luka menjadi steril.

Kandungan anti bacterial madu pertama kali dikenalkan oleh Van Ketel tahun 1982. The antibacterial property of honey was first recognised in 1892 by Van Ketel. Hal ini diasumsikan bahwa efek osmotic dihasilkan oleh kandungan gula yang tinggi di dalam madu. Madu, seperti larutan gula lainnya; syrup, memiliki osmolaritas yang cukup untuk menghambat bakteri. Madu juga telah menunjukkan pada luka yang terinfeksi staphylococcus aureus dapat dengan cepat diubah menjadi steril .

Bukti kandungan antibakteri pada madu meningkat bila diencerkan setelah di teliti dan dilaporkan pada tahun 1919. Penjelasan ini berasal dari penelitian bahwa madu mengandung enzim yang memproduksi hydrogen peroksida ketika diencerkan.

2. Hydrogen peroxide activity

Ketika madu diencerkan oleh cairan eksudat luka, hydrogen peroksida di keluarkan melalui rekasi enzim glucose oxidase. Cairan ini dikeluarkan secara perlahan untuk menyediakan aktivitas antibacterial namun tidak merusak jaringan.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa hydrogen peroxide mempunyai efek kurang baik untuk jaringan, akan tetapi hydrogen peroxide yang terkandung dalam madu adalah berkisar 1 mmol/l atau 1000 kali lebih rendah dari 3% cairan yang umum dipakai sebagai antiseptic dan masih efektif sebagai antibacterial dan tidak merusak sel fibroblast. Efek dari hydrogen peroxide yang bersifat merusak dapat dikurangi karena madu mempunyai anti oksidan yang dapat membersihkan radikal oksigen bebas. Selain itu madu juga menonaktifkan zat besi sebagai katalisator

Penelitian pada binatang didapatkan bahwa madu dapat menurunkan inflamasi dibandingkan jenis lain pada luka bakar dalam dan luka bakar superfial dan luka derajat full thickness.

Meskipun kadar hydrogen peroksida sangat rendah namum masih efektif sebagai antimikroba. Hal ini telah dilaporkan bahwa hydrogen peroksida lebih efektif bila diberikan secara terus menerus. Sebuah penelitian pada E. Coli untuk mengetahui aliran hydrogen peroksida yang ditambahkan secara constan, menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri dapat dihambat oleh 0,02 – 0,05 mmol/l hydrogen peroksida, concentrasi tersebut tidak merusak sel fibroblast pada kulit manusia.

3. Phytochemical component

Pada beberapa pengobatan madu dengan katalis untuk mengeluarkan aktivitas hydrogen peroksida, selain itu factor antibacterial nonperoksida juga diidentifikasi. Manuka (Leptospermum scoparium) honey juga telah ditemukan substansi dari aktivias antibacterial non perioksida. Penemuan ini terjadi karena masih banyaknya komponen phytocemical yang tidak teridentifikasi, sehingga penyelidikan terhadap kandungan phytocemical madu akan tetap dilanjutkan.

Penelitian yang serupa telah ditemukan madu yang mengandung spesies leptospermum yang tidak teridentifikasi di Australia, ‘jellybush’ [C. Davis, Queensland Department of Primary Industries: personal communication].

4. Increased lymphocyte and phagocytic activity

Dalam kultur sel ditemukan adanya proliferasi limposit B dan limposit T pada darah perifer yang distimulasi oleh madu dengan konsentrasi 0,1%; pagosit diaktifkan oleh madu pada konsentrasi 0,1%. Pada konsentrasi 1 % madu juga menstimulasi monocyte dalam kultur sel untuk mengeluarkan cytokine, tumor necrosis factor (TNF)-alpha, interleukin(IL)-1 dan IL-6, dimana mengaktifkan aktifitas respon imun terhadap infeksi.

Sebagai tambahan, madu juga mengandung glukosa dan PH asam (antara PH 3 dan PH 4) yang dapat membantu membunuh bakteri oleh macrophage, madu sebagai terapi untuk luka mempunyai beberapa segi kebaikan ; memudahkan pengangkatan balutan ; mempertahankan kelembaban sekitar luka.

5. Anti-bacterial potency

Madu dihasilkan dari berbagai sumber sari bunga berbeda dan menjadi antimikroba yang asli dan olahan. Dioscorides (c.50 AD) menyatakan bahwa madu kuning pucat dari Africa yang terbaik; Aristotle (384-322 BC), ketika mendiskusikan perbedaan madu, menunjukkan bawha madu yang berwarna pucat baik untuk salep mata dan luka.

Kemudian sebuah survey terhadap 345 samples madu New Zealand dari 26 sumber bunga yang berbeda ditemukan jumlah yang besar dengan aktivitas rendah (36 % sampel mempunyai aktivitas mendekati atau dibawah kadar). Selain itu hasil survey yang tidak dipublikasikan, 340 sampel madu Australia dari 78 sumber bunga yang berbeda ditemukan 68,5% memiliki dibawah kadar yang dibutuhkan.

Pada percobaan acak ditemukan pada luka eksisi dan skin graft menjadi baik dengan madu pada pengontrolan infeksi pada pasien luka bakar sedang.

Uji Klinis dan Laboratorium

Molan dalam artikelnya berjudul Honey as a tropical antibacterial agent for treatment of infected wounds dalam World Wide Wounds, 2001 menguraikan beberapa uji klinis tentang madu antara lain :

Pada suatu studi yang menggunakan madu pada Sembilan bayi dengan luka bedah infeksi yang luas yang gagal dengan antibiotic IV, dicuci dengan cairan 0,05% chlorhrxidine dan di balut dengan asam fusidic ointment. Secara klinis memperlihatkan peningkatan setelah 5 hari menggunakan madu, dan seluruh luka tertutup, bersih dan bebas dari infeksi setelah hari ke 21 penggunaan madu.

Pada percobaan acak dengan kelompok kontraol, 26 pasien dengan luka infeksi post operasi diterapi dengan madu dan 24 pasien lukanya di cuci dengan 70% etanol dan povidone iodine. Kelompok yang diterapi dengan madu dapat menghilangkan infeksi dan mencapai penyembuhan lebih cepat ½ kali di banding kelompok yang menggunakan antiseptic.

Percobaan kllinis yang membandingkan madu dengan silver sulfadiazine ointment pada luka bakar derajat II. Dari keduanya menunjukkan bahwa madu memberikan control infeksi yang lebih baik.

Luka infeksi oleh Pseudomonas, tidak ada respon dengan terapi lain, terjadi pembersihan infeksi cepat dengan menggunakan madu.

Pada pasien dengan luka infeksi yang bakteri yang resistant, tidak ada respon terapi antibiotic, hasil baik dicapai setelah 5 minggu perawatan dengan madu. Bakteri yang mengenfeksi luka yang ditemukan resisten terhadap ampicilin, oxytetracycline, gentamicin, chloramphenicol dan cephadine. Luka yang terinfeksi MRSA juga dapat diatasi infeksinya dan sembuh menggunakan balutan madu termasuk leg ulcer, luka berongga akibat haenatom dan luka operasi.

Kondisi luka bagaimana madu digunakan?

Madu biasanya digunakan sebagai topical antibacteri untuk penanganan infeksi pada tipe luka yang luas seperti : Leg Ulcers, Pressure ulcers, Diabetic foot ulcers, Luka infeksi akibat kecelakaan atau pembedahan dan luka bakar. Madu lebih efektif digunakan bila kondisi luka yang sesuai dengan kemampuan madu itu sendiri. Pada leg ulcer akan efektif digunakan bila sudah terjadi luka kronis, atau dengan eksudat yang banyak khususnya venous ulcer. Untuk pressure ulcers, madu efektif bila luka dalam kondisi eksudat banyak, slough namun kurang efektif untuk luka nekrotik, demikian pula untuk luka diabetic. Luka infeksi akibat pembedahan atau kecelakaan sangat baik diberi madu karena madu mempunyai efek osmolaritas, antimicrobial dan pythocemical yang dapat menginhibisi kuman. Sedangkan luka bakar yang dapat didukung proses penyembuhannya oleh madu adalah luka bakar suferficial dan full thickness karena dapat menurunkan proses inflamasi.

Bagaimana Cara Penggunaan madu pada luka?

Tips umum penggunaan madu pada luka antara lain :

1. Jumlah madu yang digunakan tergantung dengan jumlah cairan exudates luka. Eksudat yang banyak memerlukan jumlah substansi madu untuk dipakai.

2. Frekuensi penggantian balutan tergantung seberapa cepat madu diencerkan oleh eksudate. Sebaiknya tidak sering diganti untuk memungkinkan madu memulai bekerja dalam proses penyembuhan luka.

3. Balutan tertutup membantu untuk mencegah keluarnya ozon madu keluar dari luka

4. Sebaiknya madu di ratakan pada balutan (impregnated) lalu ditempelkan pada luka daripada madu ditempelkan langsung ke luka.

5. Untuk luka dengan eksudate yang banyak, secondary dressing dibutuhkan untuk menampung rembesan madu yang encer dari primary dressing.

6. Madu aman dimasukkan kedalam luka yang berongga dan bersinus, karena madu merupakan cairan yang dapat larut dan mudah dibilas keluar; beberapa endapannya tidak menjadi benda asing bagi tubuh (bio degradable)

7. Madu dapat di impregnated dengan alginate.

8. Balutan madu yang digunakan melebihi pinggir luka

Kesimpulan

Pemilihan balutan sebaiknya menggunakan berbagai pertimbangan sebelumnya. Perawat harus mampu mengetahui balutan apa yang cocot bagi pasien dan persoalam apa yang dihadapi pasien (termasuk masalah ekonomi). Penggunaan madu dapat dijadikan pillihan, selain madu lebih murah, juga mempunyai efek yang baik bagi luka karena dapat memfasilitasi luka sehingga lingkungan di sekitar luka menjadi kondusif bagi penyembuhan luka. Kandungan madu yang dapat menjaga lingkungan kondusif bagi luka antara lain high osmolarity, dapat mengeluarkan hydrogen peroxide, anti bakteri, komponen phytocemical, dan dapat meningkatkan limposit T, limposit B serta meningkatkan kerja pagosit.

Madu dapat di aplikasikan pada banyak jenis luka, namun perlu dipertimbangkan fungsi madu dan bagaimana efek kerjanya pada luka. Misalnya luka derajat I tidak akan efektif oleh madu, madu juga tidak memiliki efek langsung terhadap luka necrotic.

Madu mengandung banyak manfaat bagi penyembuhan luka, namun tidak semua jenis madu dapat memiliki kandungan yang sama tergantung jenis dan sumber makanan yang dimakannya. Dan menurut penelitian madu yang berwarna kuning pucat yang terbaik.

Referensi

1. Carvile K. Wound care manual. 3rd ed. St. Osborne Park: The Silver Chain Foundation ; 1998

2. Molan PC. Honey as a tropical antibacterial agent for treatment of infected wounds. World Wide Wounds. 2001

3. Molan PC. The antibacterial activity of honey. 1.The nature of the antibacterial activity. Bee World 1992; 73(1): 5-28.

4. Ngan V. Honey.Waikato Honey Research Unit

5. Suriadi. Manajemen luka. Pontianak: Stikep Muhammadiyah; 2007


Jumat, 01 Juni 2012

askep demensia vaskular


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peningkatan dengan jumlah orang yang mencapai usia tua telah menjadi masalah besar bagi pelayanan psikiatri. Lebih banyak orang hidup sampai tua, dimana mereka berisiko untuk demensia serta lebih sedikit orang muda ada untuk merawatnya. Proses penuaan secara normal membawa perubahan mental maupun fisik. Penurunan intelektual mulai terlihat pada dewasa muda, dan semakin jelas pada usia tua. Kesulitan mengingat berbentuk lambatnya dan buruknya daya ingat, lupa senilis yang ringan biasanya lupa nama atau hal lain yang relative tidak penting. Penuaan juga melibatkan perubahan sosial dan psikologi.
Penuaan fisik dan pensiun dari pekerjaan menimbulkan penarikan diri bertahap dari masyarakat sejalan dengan itu terjadi penyempitan minat dan pandangan ketakmampuan menerima pemikiran baru, kecenderungan memikirkan hal yang lampau dan mempunyai pandangan konservatif.peruabahan ini semakin cepat pada orang tua yang menderita penyakit mental. Penyakit mental pada orang tua sangat bervariasi, maka terjadilah masalah besar, seperti masalah social dan ekonomi maupun medis yang muncul akibat demensia senilis dan demensia multi infark.penyakit ini sering terjadi bahkan meningkat karena populasi orang tua bertambah dan tidak tersedianya tindakan pencegahan atau pengobatan. Banyak orang tua yang menderita demensia juga menderita penyakit fisik penyerta lain.
Lanjut usia atau lansia identik dengan demensia atau pikun dan perlu diketahui bahwa pikun bukanlah hal yang normal pada proses penuaan. Lansia dapat hidup normal tanpa mengalami berbagai gangguan memori dan perubahan tingkah laku seperti yang dialami oleh lansia dengan demensia. Sebagian besar orang mengira orang bahwa demensia adalah penyakit yang hanya diderita oleh para lansia, kenyataannya demensia dapat diderita oleh siapa saja dari semua tingkat usia dan jenis kelamin (Harvey, R.J.et al.2003).
Hal ini akan menitikberatkan pada demensia yang diderita oleh lansia dan perawatan yang dapat dilakukan keluarga sebagai support system yang penting untuk penderita demensia.

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari membuat makalah ini adalah untuk mengetahui
·         Definisi dari demensia
·         Epidemiologi demensia
·         Etiologi dari demensia
·         Manifestasi klinis dari dimensia
·         Patofisiologi dari dimensia
·         Pemeriksaan
·         Komplikasi
·         Penatalaksanaan











BAB II
PEMBAHASAN

DEMENSIA
STEP I
Kata-kata sulit:
-          Disorientasi : tidak nyambung, tidak sesuai
-          Aterosklerosis : penyumbatan oleh lemak pada arteri
-          Delirium : keadaan halusinasi
-          Jerky movements : gerakan yang tak wajar
STEP II
-          Delirium
-          Jerky Movements
-          Aterosklerosis
STEP III
1.      Apa definisi dari demensia?
2.      Etiologi demensia?
3.      Manifestasi klinis demensia?
4.      Hubungan antara demensia dan delirium, aterosklerosis, hipertensi dan disorientasi?
5.      Hubungan rokok dan alkohol pada demensia?
6.      Patologis dari demensia?
7.      Prognosis demensia?
8.      Penatalaksanaan demensia?
9.      Bagaimana asuhan keperawatannya?


STEP IV
 








STEP V
DEMENTIA
Definisi
Etiologi
Manifestasi klinis
Patofisiologi
Epidemiologi
Pemeriksaan
Komplikasi
Penatalaksanaan


A.    DEFINISI

Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, danbisa terjadi kemunduran kepribadian. Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara mendadak jika cedera hebat, penyakit atau zat-zat racun (misalnya karbon monoksida) menyebabkan hancurnya sel-sel otak. Tetapi demensia biasanya timbul secara perlahan dan menyerang usia diatas 60 tahun. Namun demensia bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang normal.
Sejalan dengan bertambahnya umur, maka perubahan di dalam otak bisa menyebabkan hilangnya beberapa ingatan (terutama ingatan jangka pendek) dan penurunan beberapa kemampuan belajar. Perubahan normal ini tidak mempengaruhi fungsi. Lupa pada usia lanjut bukn merupakan pertanda dari demensia maupun penyakit Alzameir stadium awal. Demensia merupakan penurunan kemampuan mental yang lebih serius, yang makin lama
makin parah.
Pada penuaan normal, seseorang bisa lupa akan hal-hal yang detil tetapi penderitademensia bisa lupa akan keseluruhan peristiwa yang baru saja terjadi.
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif. Diagnosis dilaksanakan dengan pemeriksaan klinis, laboratorlum dan pemeriksaan pencitraan (imaging), dimaksudkan untuk mencari penyebab yang bisa diobati. Pengobatan biasanya hanya suportif. Zat penghambat kolines terasa (Cholinesterase inhibitors) bisa memperbaiki fungsi kognitif untuk sementara, dan membuat beberapa obat antipsikotika lebih efektif daripada hanya dengan satu macam obat saja. Demensia bisa terjadi pada setiap umur, tetapi lebih banyak pada lanjut usia (l.k 5% untuk rentang umur 65-74 tahun dan 40% bagi yang berumur >85 tahun).
Kebanyakan mereka dirawat dalam panti dan menempati sejumlah 50% tempat tidur. Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita Demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavior symptom) yang menganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptif) (Voicer. L., Hurley, A.C., Mahoney, E.1998). Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu
sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku.
Demensia adalah satu penyakit yang melibatkan sel-sel otak yang mati secara
abnormal. Hanya satu terminologi yang digunakan untuk menerangkan penyakit
otak degeneratif yang progresif. Daya ingatan, pemikiran, tingkah laku dan emosi terjejas bila mengalami demensia. Penyakit ini boleh dialami oleh semua orang dari berbagai latarbelakang pendidikan mahupun kebudayaan. Walaupun tidak terdapat sebarang rawatan untuk demensia namun rawatan untuk menangani gejala-gejala boleh diperolehi. Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara perlahan, dimana terjadi  gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian.

B.     EPIDEMIOLOGI

Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut diatas 60 tahun adalah 7,2 % (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta). peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi . Kira-kira 5 % usia lanjut 65 – 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus demensia 0.5 –1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 – 15% atau sekitar 3 – 4 juta orang. Demensia terbagi menjadi dua yakni Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler. Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di Negara maju Amerika dan Eropa sekitar 50-70%. Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20% sisanya 15- 35% disebabkan demensia lainnya. Di Jepang dan Cina demensia vaskuler 50 – 60 % dan 30 – 40 % demensia akibat penyakit Alzheimer. Insiden dimensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia, setelah 65 tahun. Prafalensia demensia meningkat 2 kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun. Secara keseluruhan prevelensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6 %. Penyebab sering dimensia di amerika serika dan eropa penyebab tersering demensia di amerika dan eropa adalah penyakit Alzameir sedangkan di asia diperkirakan dimensia vascular merupakan penyebab tersering demensia.

C.     KLASIFIKASI
1. Klasifikasi Menurut Umur:
• Demensia senilis (>65th)
• Demensia prasenilis (<65th)
2. Menurut perjalanan penyakit :
• Reversibel
• Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, vit B
Defisiensi, Hipotiroidisma, intoxikasi Pb.
Pada demensia tipe ini terdapat pembesaran vertrikel dengan meningkatnya cairan serebrospinalis, hal ini menyebabkan adanya :
·      Gangguan gaya jalan (tidak stabil, menyeret).
·      Inkontinensia urin.
·      Demensia.


3. Menurut kerusakan otak :
• Demensia tipe Alzameir
Dari semua pasien dengan demensia, 50-60% memiliki demensia tipe ini. Prang kali mendefinisikan penyakit ini adalah Alois Alzameir sekitar tahun 1910. Demensia ini di tandai dengan gejala :
1. Penurunan fungsi kongnitif dengan onset bertahap dan progresif
2. Daya ingat terganggu, ditemukan adanya : afaksia, apraksia, agnosia, gangguan   fungsi eksekutif.
3. Tidak mampu mempelajari / mengingat informasi baru.
Penyakit Alzheimer terbagi atas 3 stadium berdasarkan beratnya detorisasi intelektual, yaitu:
1. Stadium I
Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan memori, berhitung dan aktifitas spontan menurun. “Fungsi memori yang terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang dialami.
2. Stadium II
Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebutr stadium demensia. Gejalanya
antara lain :
Disorientasi gangguan bahasa (afasia) : penderita mudah bingung penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat melakukan kegiatan sampai selesai, tidak mengenal anggota keluarganya tidak ingat sudah
melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi. Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungannya, depresi berat prevalensinya 15-20%.
3. Stadium III
Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun. Gejala klinisnya antara lain:
a. Penderita menjadi vegetative.
b. tidak bergerak dan membisu.

c. daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal keluarganya sendiri.
d. tidak bisa mengendalikan buang air besar/kecil.
e. kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain.
f. kematian terjadi akibat infeksi atau trauma
Demensia Vaskuler
Untuk gejala klinis demensia tipe vaskuler, disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah di otak. Dan setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat berakibat terjadinya demensia. Depresi bisa disebabkan karena lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi darah otak, sehingga depresi itu dapat didiuga sebagai demensia vaskuler. Gejala depresi lebih sering dijumpai pada demensia vaskuler daripada Alzheimer. Hal ini disebabkan karena kemampuan penilaian terhadap diri sendiri dan respos emosi tetap stabil pada demensia vaskuler.
Dibawah ini merupakan klasifikasi penyebab demensia vaskuker, diantaranya:
Kelainan sebagai penyebab Demensia :
• penyakit degenaratif
• penyakit serebrovaskuler
• keadaan anoksi/ cardiac arrest, gagal jantung, intioksi CO
• trauma otak
• infeksi (Aids, ensefalitis, sifilis)
• Hidrosefaulus normotensif
• Tumor primer atau metastasis
• Autoimun, vaskulitif
• Multiple sclerosis
• Toksik
• kelainan lain : Epilepsi, stress mental, heat stroke, whipple disease
Kelainan/ keadaan yang dapat menampilkan demensi
Gangguan psiatrik :
• Depresi
• Anxietas
• Psikosis
Obat-obatan :
• Psikofarmaka
• Antiaritmia
• Antihipertensi
• Antikonvulsan
• Digitalis
Gangguan nutrisi:
• Defisiensi B6 (Pelagra)
• Defisiensi B12
• Defisiensi asam folat
• Marchiava-bignami disease


Gangguan metabolisme :
• Hiper/hipotiroidi
• Hiperkalsemia
• Hiper/hiponatremia
• Hiopoglikemia
• Hiperlipidemia
• Hipercapnia
• Gagal ginjal
• Sindromk Cushing
• Addison’s disesse
• Hippotituitaria
• Efek remote penyakit kanker

D.    ETIOLOGI
Yang paling sering menyebabkan demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyebab penyakit Alzheimer tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan faktor genetik, karena penyakit ini tampaknya ditemukan dalam beberapa keluarga dan disebabkan atau dipengaruhi oleh beberapa kelainan gen tertentu. Pada penyakit Alzheimer, beberapa bagian otak mengalami kemunduran, sehingga terjadi kerusakan sel danberkurangnya respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan sinyal di dalam otak. Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak senilis dan serabut saraf yang semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi. Demensia sosok Lewy sangat menyerupai penyakit Alzheimer, tetapi memiliki perbedaan dalam perubahan mikroskopik yang terjadi di dalam otak. Penyebab ke-2 tersering dari demensia adalah serangan stroke yang berturut-turut. Stroke tunggal ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan atau kelemahan yang timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran darah disebut infark. Demensia yang berasal dari beberapa stroke kecil disebut demensia multi-infark. Sebagian besar penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis, yang keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak.

E.     Manifestasi Klinis
1.      Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, “lupa” menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
2.      Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun, tempat penderita demensia berada
3.      Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
4.      Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
5.      Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah
6.      Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak.
7.      Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek.
8.       Gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings
9.      Defisit neurologik motor & fokal
10.  Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang
11.  Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoia
12.  Agnosia, apraxia, afasia
13.  ADL (Activities of Daily Living)susah
14.  Kesulitan mengatur penggunaan keuangan
15.  Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
16.  Lupa meletakkan barang penting
17.  Sulit mandi, makan, berpakaian, toileting
18.  Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan tak bisa pulang
19.  Mudah terjatuh, keseimbangan buruk
20.  Akhirnya lumpuh, inkontinensia urine & alvi
21.  Tak dapat makan dan menelan
22.  Koma dan kematian.

F.     PATOFISIOLOGI
Penyakit Alzheimer mengakibatkan sedikitnya dua per tiga kasus demensia. Penyebab spesifik penyakit Alzheimer belum diketahui, meskipun tampaknya genetika berperan dalam hal itu. Teori-teori lain yang pernah popular, tetapi saat ini kurang mendukung, antara lain adalah efek toksik dari aluminium, virus yang berkembang perlahan sehingga menimbulkan respon atau imun, atau defisiensi biokimia. Dr. Alois Alzheimer pertama kali mendeskripsikan dua jenis struktur abnormal yang ditemukan pada otak mayat yang menderita penyakit Alzheimer:plak amiloid dan kekusutan neurofibril trdapat juga penurunan neurotransmitter tertentu, terutama asetilkolin. Area otak yang terkena penyakit Alzheimer terutama adalah korteks serebri dan hipokampus, keduanya merupakan bagian penting dalam fungsi kognitif dan memori.
Amiloid menyebabkan rusaknya jaringan otak. Plak amiloid berasal dari protei yang lebih besar, protein precursor amiloid (amyloid precursor protein[APP]). Keluarga-keluarga dngan awitan dini penyakit Alzheimer yang tampak sebagaisesuatu yang diturunkan telah menjalani penelitian, dan beberapa diantaranya mengalami mutasi pada gen APP-nya. Mutasi genAPP lainnya yang berkaitan dengan awitan lambat AD dan penyakit serebrovaskular juga telah diidentifikasi. Terdapat peningkatan risiko awitan lambat penyakit Alzheimer dengan menurunnya alel apo E4 pada kromosom 19. Simpul neurofibriler adalah sekumpulan serat-serat sel saraf yang saling berpilin,yang disebut pasangan filamen heliks. Peran spesifik dari simpul tersebut pada penyakit ini sedang diteliti. Asetilkolin dan neurotransmiter merupakan zat kimia yang diperlukan untuk mengirim pesan melewati system saraf. Deficit neurotransmiter menyebabkan pemecahan proses komunikasi yang kompleks di antara sel-sel pada system saraf. Tau dalah protein dalam cairan srebrospinal yang jumlahnya sudah meningkat sekalipun pada penyakit Alzheimer tahap awal. Temuan-temuan yang ada menunjukan bahwa penyakit Alzheimer dapat bermula di tingkat selular, dengan atau menjadi penanda molecular di sel-sel tersebut.
Demensia multi-infark adalah penyebab demensia kedua yang paling banyak terjadi. Pasien-pasien yang menderita penyakit serebrovaskular yang seperti namanya, berkembang menjadi infark multiple di otak. Namun, tidak semua orang yang menderita infark serebral multiple mengalami demensia. Dalam perbandingannya dengan penderita penyakit Alzheimer, orang-orang dengan demensia multi infark mengalami awitan penyakit yang tiba-tiba, lebih dari sekedar deteriorasi linear pada kognisi dan fungsi, dan dapat menunjukan beberapa perbaikan di antara peristiwa-peristiwa serebrovaskular.
Sebagian besar pasien dengan penyakit Parkinson yang menderita perjalanan penyakiy yang lama dan parah akan mengalami demensia. Pada satu studi, pasien-pasien diamati selama 15 sampai 18 tahun setelah memasuki program pengobatan levodopa, dan 80% di antaranya menderita demensia sedang atau [parah sebelum akhirnya meninggal dunia. (Mickey Stanley, 2006)
     Diagnosis Banding
Diagnosis difokuskan pada hal-hal berikut ini:
·         Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler
Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer dengan adanya perburukan penurunan status mental yang menyertai penyakit serebrovaskuler seiring berjalannya waktu. Meskipun hal tersebut adalah khas, kemerosotan yang bertahap tersebut tidak secara nyata ditemui pada seluruh kasus. Gejala neurologis fokal lebih sering ditemui pada demensia vaskuler daripada demensia tipe Alzheimer, dimana hal tersebut merupakan patokan adanya faktor risiko penyakit serebrovaskuler.
·         Demensia Vaskuler lawan Transient Ishemic Attacks
Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi neurologis fokal yang terjadi selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit). Meskipun berbagai mekanisme dapat mungkin terjadi, episode TIA biasanya disebabkan oleh mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang mengakibatkan terjadinya iskemia otak sementara, dan gejala tersebut biasanya menghilang tanpa perubahan patologis jaringan parenkim. Sekitar sepertiga pasien dengan TIA yang tidak mendapatkan terapi mengalami infark serebri di kemudian hari, dengan demikian pengenalan adanya TIA merupakan strategi klinis penting untuk mencegah infark serebri. Dokter harus membedakan antara episode TIA yang mengenai sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara umum, gejala penyakit sistem vertebrobasiler mencerminkan adanya gangguan fungsional baik pada batang otak maupun lobus oksipital, sedangkan distribusi sistem karotis mencerminkan gejala-gejala gangguan penglihatan unilateral atau kelainan hemisferik. Terapi antikoagulan, dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti aspirin dan bedah reksonstruksi vaskuler ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan risiko infark serebri pada pasien dengan TIA.

G.    Pemeriksaan Demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain :

1.      Riwayat medik umum
Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada saat wawancara biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head turning sign.
2.    Riwayat neurologi umum
Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atauhidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural dari pada sebab degeneratif.

3.    Riwayat neurobehavioral
Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan.

4.    Riwayat psikiatrik
Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi kognitif, hal ini disebut pseudodemensia.

5.    Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan
Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif.

6.    Riwayat keluarga
Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.




7.    Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.

Pemeriksaan penunjang (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)

            1. Pemeriksaan laboratorium rutin
                        Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat
2. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
  3.    Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.
4.      Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
5. Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.

Pemeriksaan neuropsikologis

Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. .(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
§  mampu menyaring secara cepat suatu populasi
§  mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan demensia. (Sjahrir,1999)
Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah test yang paling banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003 ;Boustani,2003 ;Houx,2002 ;Kliegel dkk,2004) tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan memori ringan. (Tang-Wei,2003)
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pada penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan 0-4 tahun. Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan. (Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pe meriksaan ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang berat. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003, Golomb,2001).


H.    PENATALAKSANAAN

Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler. Tekanan darah yang berada dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat -2bpenting mengingat antagonis reseptor  dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan bedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya padapasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif, dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik, termasuk perilaku yang merugikan.

Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasanyang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya.Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara “berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat.
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.

Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi).
Secara umum, obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan. Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.

Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa:
·         Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
·         Antipsikotika atipik:
§  Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
§  Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
§  Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
§  Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
§  Abilify 1 x 10 - 15 mg
·         Anxiolitika
§  Clobazam 1 x 10 mg
§  Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
§  Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
§  Buspirone HCI 10 - 30 mg
§  Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
§  Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
·         Antidepresiva
§  Amitriptyline 25 - 50 mg
§  Tofranil 25 - 30 mg
§  Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
§  SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
§  Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
·         Mood stabilizers
§  Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
§  Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
§  Topamate 1 x 50 mg
§  Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
§  Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
§  Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
§  Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia):
·         Nootropika:
§  Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
§  Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
§  Sabeluzole (Reminyl)
·         Ca-antagonist:
§  Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
§  Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
§  Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
§  Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
§  Pantoyl-GABA
·         Acetylcholinesterase inhibitors
§  Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
§  Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari
§  Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
§  Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
§  Memantine 2 x 5 - 10 mg

Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain
Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat memperlambat perkembangan penyakit ini.
Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif pada wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif menggunakan ginkgo biloba dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi. Laporan mengenai penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih rendah terhadap perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat dalam pencegahan penyakit.
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD)
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD) penting untuk diperhatikan karena merupakan satu akibat yang merepotkan bagi pengasuh dan membuat payah bagi sang pasien karena ulahnya yang amat mengganggu1:

Pencegahan dan Perawatan
Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjadinya demensia diantaranya adalah menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan fungsi otak, seperti :
1.   Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol dan zat adiktif yang berlebihan
2.   Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan setiap hari.
3.   Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif
§  Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.
§  Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman yang memiliki persamaan minat atau hobi
4.   Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks dalam kehidupan sehari-hari dapat membuat otak kita tetap sehat.

Peran Keluarga
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita demensia Hidup bersama dengan penderita demensia bukan hal yang mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun lingkungan sekitar. Pada tahap awal demensia penderita dapat secara aktif dilibatkan dalam proses perawatan dirinya. Membuat catatan kegiatan sehari-hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu dalam menekan laju kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia. Keluarga tidak berarti harus membantu semua kebutuhan harian Lansia, sehingga Lansia cenderung diam dan bergantung pada lingkungan. Seluruh anggota keluargapun diharapkan aktif dalam membantu Lansia agar dapat seoptimal mungkin melakukan aktifitas sehari-harinya secara mandiri dengan aman. Melakukan aktivitas sehari-hari secara rutin sebagaimana pada umumnya Lansia tanpa demensia dapat mengurangi depresi yang dialami Lansia penderita demensia.
Merawat penderita dengan demensia memang penuh dengan dilema, walaupun setiap hari selama hampir 24 jam kita mengurus mereka, mungkin mereka tidak akan pernah mengenal dan mengingat siapa kita, bahkan tidak ada ucapan terima kasih setelah apa yang kita lakukan untuk mereka. Kesabaran adalah sebuah tuntutan dalam merawat anggota keluarga yang menderita demensia. Tanamkanlah dalam hati bahwa penderita demensia tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Merekapun berusaha dengan keras untuk melawan gejala yang muncul akibat demensia.


F. Asuhan  Keperawatan Dementia
Tanggal MRS              : Senin, 27 Mei 2012
Pukul                           : 07.00 wib
Tanggal pengkajian     : 27 Mei 2012
Diagnosa medis           : Dementia
A.    Pengkajian
1.      Pengkajian umum
a.       Identitas pasien
Ø  Nama                     : Sumanto Ariantoro
Ø  TTL                       : Medan, 17 maret 1947
Ø  Umur                     : 65 tahun
Ø  Jenis kelamin         : laki – laki
Ø  Anak ke-               : 3
Ø  Pendidikan            : SMA
Ø  Alamat                  : JL. Sungai Raya Dalam
b.      Identitas orangtua
Nama ayah / ibu
Ayah                           : Suharno
Ibu                               : habibah
Pekerjaan ayah / ibu
Ayah                           : Pedagang
Ibu                               : Ibu rumah tangga
Alamat                                    : JL. Sungai Raya Dalam
c.       Identitas orangtua
Riwayat penyakit sekarang
a.       Keluhan utama saat ini : tanggal 30 mei 2012 pukul 08.00 klien mengalami halusinasi , klien tidak dapat mengingat anggota keluarganya.
b.      Diagnosa medis saat masuk RS : Dementia
2.      Riwayat penyakit dahulu : Stroke, hipertensi, atherosklerosis
3.      Riwayat penyakit keluarga : ayah ibu hipertensi

4.      Pemeriksaan fisik
TD : 150/110 mmHg, RR  27 x/menit, Suhu : 37derajat, nadi 130 x.menit
a.       Pemeriksaan fisik sistem persyarafan
·         Tingkat kesadaran       : apatis
·         GCS                           
Eye                              : 3
Verbal                         : 5
Motorik                       : 3
Total GCS                   : 11
·       Refleks fisiologis
Bisep                           : -
Trisep                          : -
Achiles                        : -
Patella                         : -
·       Refleks patologis
Babinski                      : +
·       Refleks meningeal
Kaku kuduk                : +
Brundzinski 1              : +
Brundzinksi 2              : +
Kernig
·       Kejang                         : tidak ada
·       Mata/penglihatan
Bentuk                        : normal
Pupil                           : isokor
Reflek cahaya             : kanan kiri +/+
Gangguan penglihatan: mata kabur, berhalusinasi
·      Hidung/ penciuman
Bentuk                                    : normal
Gangguan penciuman             : tidak
·      Telinga/ pendengaran
Bentuk                                                : normal
Gangguan pendengaran          : tidak
b.      Pemeriksaan sistem perkemihan
·      kandung kemih                       : normal
·      Produksi urine                         : 600 cc/hari
·      Warna                                      : kuning pekat
·      Bentuk alat kelamin                : normal
·      Uretra                                      : normal
·      Kateter                                                : tidak terpasang
c.       Pemeriksaan sistem pencernaan
·         Mulut dan tenggorokan
1.      Bibir                                        : kering
2.      Mual                                        : ya
3.      Muntah                                    : ya
4.      Terpasang NGT                       : tidak
5.      BB seblum MRS                     : 60 kg
6.      BB setelah MRS                     : 57 kg
7.      Feses                                       : warna tanah liat ( 2 x sehari)
d.      Pemeriksaan psikososial
·         Dampak hospitalisasi pada klien         : gelisah
·         Respon saat tindakan                          : kurang
·         Hubungan dengan pasien lain             : kurang
e.       Pemeriksaan penunjang
1.      Pemeriksaan laboratorium                  
·         hasil pemeriksaan toksik positif alcohol
·         hasil EKG : disritmia

A.    Diagnosa keperawatan
No
Data
Etiologi
Masalah
1
Data subyektif :
-          anak klien mengatakan bahwa klien sering melakukan gerakan-gerakan tak wajar.
-          Keluarga klien mengatakan bahwa klien sering berhalusinasi dan gelisah
-          Keluarga klien mengatakan klien hampir  jatuh dari tempat tidur

Data objektif :
-          klien terlihat sulit mengendalikan gerakannya.
-          Kesadaran apatis
-          Klien tampak distraksi, ansietas, agitasi
-          Klien peka terhadap rangsangan
-          TD : 150/110 mmHg, RR  27 x/menit, Suhu : 37derajat, nadi 130 x.menit

Kurangnya kesadaran tentang bahaya lingkungan
Resiko cedera
2
Data subjektif :
-          keluarga klien mengatakan bahwa klien sering  melakukan gerakan yang tidak normal, mengambil keputusan yang salah dan susah mengingat sesuatu
Data objektif  :
-          Klien meracau
-          Klien cenderung berhalusinasi
-          Disorientasi
-          TD : 150/110 mmHg, RR  27 x/menit, Suhu : 37derajat, nadi 130 x.menit

Ancaman terhadap konsep diri
Ansietas/ketakutan
3
Data subjektif :
-          Keluarga klien mengatakan klien susah makan dan minum
Data objektif :
-          Berat badan pasien sebelum MRS 60 Kg
-          Berat badan pasien setelah MRS 57 Kg
-          TD : 150/110 mmHg, RR  27 x/menit, Suhu : 37derajat, nadi 130 x.menit



Masukan makanan yang kurang
Perubahan nutrisi : kurang dari
4
Data subjektif :
-          Keluarga pasien  mengatakan pasien susah mengingat sesuatu, bertingkah aneh dan lupa dengan sesuatu yang sering dia lakukan
-          Anak klien mengatakan ayahnya menjadi pendiam
-           
Data Objektif
-          Klien bingung
-          Disorientasi
-          TD : 150/110 mmHg, RR  27 x/menit, Suhu : 37derajat, nadi 130 x.menit
-          Klien sulit menulis dan membaca
-          Klien sulit berjalan sendiri



kerusakan penyesuaian dengan kehilangan daya ingat
Perubahan pola pikir
5
Data subjektif
-          Klien mengatakan sakit kepala
-          Anak klien mengatakan ayahnya dulu mengkonsusmsi alkohol

Data  objektif
-          TD : 150/110 mmHg, RR  27 x/menit, Suhu : 37derajat, nadi 130 x.menit
-          Distraksi
-          Disritmia
-          Hasil pemeriksaan toksik positif alcohol
-          Klien muntah,mual
Alkoholisme
Penurunan curah jantung
6
Data subjektif
-          Klien mengatakan pusing di kepala
-          Anak klien mengatakan ayahnya perokok aktif
-          Anak klien mengatakan tidak tau bagaimana merawat ayahnya
Data objektif
-          TD : 150/110 mmHg, RR  27 x/menit, Suhu : 37derajat, nadi 130 x.menit
-          Klien Emosional
hipertensi
Kurangnya pengetahuan







Diagnosa Keperawatan
1.      Resiko cedera b.d kurangnya kesadaran tentang bahaya lingkungan
2.      Ansietas/ketakutan b.d ancaman terhadap konsep diri
3.      Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d masukan makanan yang kurang
4.      Perubahan pola pikir b.d kerusakan penyesuaian dengan kehilangan daya ingat
5.      Penurunan curah jantung b.d alkoholisme
6.      Kurangnya pengetahuan b.d hipertensi.